Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London.
Penerbangan ini nonstop menuju Singapura.
Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan,
berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis
kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum,
cukup menyeringai, menatapnya datar.
“Silakan,” kataku.
“Maaf,
wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha
menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan
Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik.
Aku
mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di
Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri
konferensi. Editor senior majalah mingguan itu spesial meneleponku,
minta maaf, bilang wawancara ini amat penting, waktunya mendesak,
pembaca setia mereka ingin tahu bagaimana cara terbaik menyikapi
turbulensi ekonomi dunia saat ini. Apa pun akan mereka lakukan untuk
mendapatkan materi wawancara, termasuk menyusulku ke London.
Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas konferensi. Lagi-lagi
wartawan mereka datang terlambat di gedung konferensi, dan aku sudah
menumpang taksi bergegas menuju bandara.
Editor itu kembali
terburu-buru menelepon, bilang mereka sudah berusaha mengirimkan
wartawan terbaik mengejarku ke Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat
untuk diikuti. Sambil tertawa, dia bergurau, “Kau tahu, Thom. Bahkan
jadwalmu lebih padat dibanding presiden.”
Demi sopan santun aku ikut
tertawa, lantas berkata pendek, “Kita lakukan saja sekarang di atas
langit atau lupakan sama sekali.”
“Seperti yang mungkin sudah
disebutkan dalam e-mail, ini akan menjadi judul di halaman depan.” Gadis
dengan blus putih dan rok hitam konservatif selutut itu masih
melanjutkan dengan kalimat pembukanya. “Kau tahu, terus terang aku
sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya, tapi karena aku begitu
antusias. Ya Tuhan, aku baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini
mengagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto rilis pertamanya. Berapa
ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali pesawat biasa. Dan aku
menumpang di kelas eksekutif. Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu
redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket
agar satu pesawat denganmu.”
Aku mengangguk, lebih asyik mengamati
penampilan “wartawan terbaik” di sebelahku itu. Aku bergumam, semoga isi
kepalanya secantik penampilannya. Gadis itu lebih cocok menjadi pembawa
acara di layar televisi dibandingkan kuli tinta, bergenit ria dengan
dandanan dan kalimat, padahal kosong. Apa tadi kualifikasinya? Lulusan
terbaik sekolah bisnis? Ada ribuan orang yang memiliki predikat
itu---aku bahkan punya dua.
“Sejak kapan kau menjadi wartawan?”
Senyum riang gadis itu terlipat, meski ekspresi wajah terbaiknya tetap menggantung.
“Aku?”
“Ya, sejak kapan kau menjadi wartawan?”
“Dua tahun.” Dia menjawab ragu-ragu.
“Berapa usiamu sekarang?”
“Usia? Eh, dua puluh lima.”
“Ada berapa wartawan di kantormu?”
“Eh?”
“Ya, anggap saja aku yang sedang mewawancaraimu.” Aku menatapnya tipis,
mengabaikan pramugari yang penuh sopan santun berlalu-lalang menawarkan
kaviar serta anggur terbaik.
“Hampir tiga puluh.”
“Menarik.”
Aku menjentikkan telunjuk. “Dari tiga puluh wartawan di kantor review
ekonomi mingguan yang mengklaim terbesar di Asia Tenggara, pemimpin
redaksi kalian ternyata memutuskan mengirimkan juniornya yang berusia
dua puluh lima dan baru bekerja dua tahun, melakukan wawancara yang
katanya paling penting, topik paling aktual, yang judulnya akan
diletakkan di halaman depan edisi breaking news. Amat menarik, bukan?”
Wajah gadis itu memerah. Sepertinya aku berhasil menyinggung harga
dirinya. Dia terdiam sejenak, meremas jemari, napasnya tersengal. Boleh
jadi, kalau tidak sedang di pesawat, dia sudah bergegas meninggalkanku,
melupakan wawancara sialan ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan
narasumbernya, bukan siapa-siapa, sudah dilemparnya dengan iPad atau
sepatu. Dia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini.
Aku
mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan. “Tentu saja aku
begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagi pula, aku hanya ingin
membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu di atas pesawat ini benar,
ternyata kau memang jauh lebih cantik saat marah. Namamu Julia, bukan?
Mari kita mulai wawancaranya.”
***
Aku tidak terlalu suka
bicara di depan ratusan orang---yang satu pun tidak kukenal. Berada di
tengah pakar, akademisi, penerima hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau
apalah yang mentereng menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari
kartu nama hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya
membuatku muak.
Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang,
petinggi sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai
strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah serigala berbalut jas,
dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan
mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hierarki terendah
mereka. Buncah bicara tentang regulasi, tata kelola yang baik, tetapi
mereka sendiri tidak mau diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang
penyelamatan dan bantuan global, tetapi mereka sibuk mengais keuntungan
di tengah situasi kacau-balau.
Hanya satu alasan kenapa aku
menghadiri konferensi ini, meluangkan satu jam menjadi pembicara,
bayarannya mahal. Alasan paling masuk akal bagi seluruh umat manusia.
“Si Om Teroris ini, maaf, aku bosan menyebutnya dengan krisis ekonomi
global, subprime mortgage, atau apalah nama binatang itu, terlalu
panjang dan mual mendengarnya, setiap hari ada di televisi, koran,
radio, internet, bahkan sopir taksi tidak ketinggalan. Aku akan
menyebutnya dengan Om Teroris saja. Ada yang keberatan?” Aku memulai
sesi pagi dengan santai, bertopang dagu.
Peserta konferensi antarbangsa tertawa.
“Ya, ya, aku tahu di pojok sana keberatan.” Aku pura-pura memasang
wajah serius. “Tetapi di dunia dengan sistem ekonomi saling bertaut,
tidak ada batas pasar modal dan pasar uang, krisis seperti ini lebih
menakutkan dibanding teror dari ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Kita
tidak pernah melihat indeks saham terjun bebas seperti hari ini ketika
dulu menara WTC dihancurkan, bukan? Bahkan indeks tidak berkedut ketika
kapal selam nuklir Soviet memasuki perairan Amerika di era perang
dingin. Hari ini, semua orang panik, satu per satu seperti anak kecil
menunggu jatah permen, perusahaan raksasa mendaftar perlindungan
kebangkrutan, dan harga surat berharga menjadi sampah, tidak lebih dari
harga selembar kertas folio kosong.”
Aku ekspresif menjentik selembar kertas, membiarkannya jatuh dari atas meja.
“Orang-orang kehilangan dana pensiun, jaminan kesehatan, tabungan
puluhan tahun, dan rencana pendidikan. Kita amat tahu, untuk orang-orang
seperti kita, inilah teror sebenarnya. Rasa cemas atas masa depan.
Detak jantung mengeras setiap melihat tukikan grafik harga, potensi
kehilangan kekayaan, tidak bisa tidur, bahkan satu-dua eksekutif puncak
memilih bunuh diri.”
Peserta konferensi antarbangsa takzim
mendengarkan. Aku diam sebentar, meraih gelas air mineral, senang
memperhatikan wajah-wajah menunggu mereka.
“Sayangnya,” aku meremas
rambutku, menghela napas, “Om Teroris yang satu ini tidak bisa ditusuk
dengan pisau. Presiden kalian, maksud aku presiden di meja pojok sana,
bisa dengan mudah mengirim ribuan tentara, pesawat tempur, tank, bahkan
kapal induk untuk memburu satu orang teroris. Khotbah tentang preventive
strike memberikan rasa aman bagi segenap rakyat, mencegah teror meluas.
Sial, Om Teroris yang satu ini bahkan tidak bisa dipegang batang
lehernya.
“Bukan karena dia tidak bisa dilihat, tentu saja muasal
kekacauan pasar modal dan pasar uang kita amat terlihat, tidak susah
mengurai benang kusutnya. Kita tidak bisa menusuknya, karena kalau itu
dilakukan, kita semua di sinilah yang pertama kali tertikam. Kitalah
yang terlalu serakah dan kreatif menciptakan pola transaksi keuangan,
membiarkan bahkan membuat nilai aset menggelembung tidak terkendali,
mengabaikan risiko sebesar Gunung Everest di depan hidung. Peduli setan?
Sepanjang bonus tahunan terus membubung dan semua fasilitas---pesawat
jet perusahaan, hotel terbaik, liburan berkelas---tetap ada. Temuan
audit pun dibungkus sebaik mungkin. Peringatan awal dianggap angin lalu.
Mulailah kita terbiasa mematut informasi, memabrikkan kemasan,
melupakan bahwa itu semua ada batasnya. Ketika nilai surat berharga
semakin lama semakin menggelembung, harga selembar kertas bisa setara
berkilo-kilo emas, padahal sejatinya dia tetap selembar kertas.”
“Boom!” Aku mengetuk mik dengan jari---membuat hadirin sedikit tersentak
kaget. “Semua meledak, ekonomi dunia remuk, krisis ekonomi global
pecah, dalam sekejap menjalar ke mana-mana. Bursa New York tumbang,
memangkas kapitalisasi dunia miliaran dolar, disusul London, Frankfurt,
Amsterdam, Paris. Dan hanya butuh sedetik berita mengerikan itu tiba di
Bangkok, Singapura, Jakarta, Dubai, Sao Paolo, Sidney bahkan
Johannesburg. Semua orang panik, kontrak future harga minyak dan
komoditas turun, perdagangan dunia terkulai, perekonomian melambat,
banyak negara menyatakan resesi. Bahkan ada yang bergegas menyatakan
bangkrut, meminta pertolongan.
“Hari ini kita sibuk berdiskusi
sana-sini, menganalisis, berandai-andai, andai itu tidak dilakukan,
andai ada regulasi yang mengatur, tetapi lebih banyak yang
berandai-andai, andai lebih dulu menjual lantas memasang transaksi
short-selling, andai uang tunai di tangan siap sedia, andai dalam posisi
transaksi sebaliknya. Itu akan jadi berkah tidak terkira, berpesta pora
di tengah kerugian massal.”
“Tuan, maaf saya menyela.” Seorang
peserta konferensi berkata tidak sabaran, dengan bahasa Inggris sengau
khas Asia Timur, membuat seisi ruangan menoleh padanya.
“Sesi
tanya-jawab tersedia di lima belas menit terakhir.” Bergegas moderator,
salah seorang profesor sekolah bisnis ternama, mengingatkan.
“Tidak mengapa. Silakan.” Aku tidak keberatan, mengangguk.
“Eh?” Moderator itu menatapku.
“Terima kasih.” Peserta itu berdeham, dasinya miring, rambutnya tidak
rapi, pasti sedang pusing dengan banyak hal. “Aku pikir, kami tidak akan
menghabiskan waktu untuk mendengar lagi cerita seperti sesi akademis
dan birokrat sehari penuh sebelumnya. Jauh-jauh kami datang hanya untuk
mendengar teori-teori. Kami lelah. Kami butuh keputusan cepat dan tepat.
Tuan, Anda dipuji banyak media sebagai salah satu penasihat keuangan
terbaik. Begini sajalah, sejak krisis ini terjadi, frankly speaking,
perusahaan kami sudah limbung kiri-kanan, melaporkan kerugian yang
menghabisi saldo laba dua puluh tahun, posisi kas negatif, dan klaim
pembayaran nasabah hanya menunggu waktu. Apa yang harus kami lakukan?
Atau tepatnya, apa yang eksekutif puncak perusahaan bernasib sama
seperti kami harus lakukan? Menunggu vonis kematian?”
Gumaman setuju terdengar dari banyak meja.
Aku tertawa kecil, menyikut moderator di sebelah. “Nah, akhirnya bisa
dimengerti kenapa aku dibayar mahal sekali untuk menjadi pembicara dalam
konferensi ini. Kalian ternyata meminta nasihat keuangan secara gratis.
John, jangan lupa kau bantu kirimkan tagihan ke seluruh peserta.”
Peserta konferensi antarbangsa tertawa.
Aku mengusap wajah, menunggu ruangan kembali hening, lantas berkata
perlahan. “Kunci solusinya hanya tiga kata: rekayasa, rekayasa, dan
rekayasa. Itu saja. Sejak zaman Firaun, sejak zaman Xerxes dari Persia,
hanya itu solusi menghadapi krisis ekonomi besar. Termasuk bagaimana
menyelamatkan uang kalian yang telanjur terbenam di perusahaan terancam
bangkrut.”
Bersambung --
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon