Selasa, 28 Februari 2017

Investasi Emas Oleh Ippho Santosa



Investasi emas saat ini adalah pilihan yang sangat rasional. Kenapa? Karena tak semua orang mampu membeli properti. Dan tak semua orang punya ilmu tentang saham. Mungkin di antara kita banyak yang termasuk dalam dua kelompok ini.

Investasi emas merupakan pilihan favorit yang dilakukan masyarakat sejak dulu sampai sekarang. Bagaimana dengan Anda? Pengen berinvestasi emas yang aman, ringan, sekaligus menguntungkan? Baiklah, saya akan berbagi tips dalam sejumlah tulisan.

Sebelum #InvestEmas, baiknya tentukan dulu apa tujuan Anda, misalnya untuk DP rumah, DP kendaraan, DP haji, DP umrah, dana darurat, dana pensiun, dana pendidikan, modal usaha, biaya pernikahan, biaya liburan, dan lain sebagainya. 

Setelah itu, tentukan jangka waktunya, apakah itu jangka waktu pendek (1 hingga 3 tahun), jangka menengah (4 hingga 7 tahun), atau jangka panjang (lebih dari 7 tahun). Sebenarnya, lebih panjang lebih baik. Hukum Compound akan bekerja.

Investasi emas relatif berbeda dengan investasi saham atau reksadana. Harga emas cenderung selalu naik. Terutama dalam jangka panjang. Selain itu, emas bisa langsung diuangkan (likuid) kalau-kalau Anda butuh tunai.

Anda bisa membeli emas yang terjamin aslinya di Antam. Kalau mau lebih fleksibel, Anda bisa membuka rekening tabungan emas di Pegadaian. Tabung ya, bukan cicil. Saya pun melakukan ini, menabung emas di Pegadaian. Setidaknya, Anda bisa membeli emas di toko emas terdekat. Yang penting, belinya disiplin setiap bulannya.

Ayo praktek! Sekian dari saya, Ippho Santosa.

---

Artikel di atas di copas dari grup whatsapp yang dikelola Ippho Santosa

Senin, 27 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 24 - Pertempuran Pertama

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

 USIAKU dua puluh empat, kembali dari sekolah bisnis, Opa sudah menunggu di bandara.

“Kita harus merayakan ini, Tommi.” Tubuh kurus tinggi Opa memelukku.

Aku balas memeluknya, bertanya ragu-ragu, “Merayakan?”

Opa mengangguk, menyikut pinggangku. “Tenang saja. Om Liem tidak ikut serta, dia tahu diri. Hanya berdua kita berlayar menapaktilasi perjalanan Opa puluhan tahun lalu. Dengan kecepatan 30 knot per jam, setidaknya butuh satu-dua minggu, akan menyenangkan, bukan?”

Aku ikut tertawa---untuk kalimat Om Liem tidak ikut. Sejak dulu Opa selalu ingin menghabiskan waktu bersamaku, berusaha menebus hari-hari di sekolah berasrama. Aku mengangguk, tidak ada salahnya. Sudah lebih dari belasan tahun aku tidak pernah libur panjang sungguhan, biasanya segera kembali ke buku-buku, membaca banyak hal, belajar banyak hal---bahkan di hari libur.

Kami melepas jangkar kapal pesiar. Ada dua orang pembantu Opa yang ikut, dua-duanya kelasi, bukan nakhoda kapal sebaik Kadek, tapi mereka jago masak dan berguna menyelesaikan pernak-pernik pekerjaan di kapal.

“Belum ada namanya?” Aku memukul lambung kapal yang bergerak cepat meninggalkan siluet gedung tinggi kota Jakarta yang terbungkus kabut pagi.

Opa tertawa. “Ini kapalmu, Tommi. Kau yang harus memberinya nama.”

Aku memperbaiki anak rambut. Angin laut menerpa wajah. Berarti sudah dua tahun kapal ini belum mengalami prosesi melempar botol sejak dikirimkan dari galangan kapal di Eropa.

“Aku tidak punya ide,” aku menjawab pelan.

“Astaga? Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, memberi nama kapal saja kau tidak punya ide?” Opa jail menyipitkan mata. “Kenapa tidak kau beri nama ‘Thomas’, atau nama papamu, ‘Edward’?”
Aku menggeleng perlahan.

Ruang kemudi kapal lengang sejenak.

Opa ikut menggeleng pelan. “Seharusnya kita tidak menyebut nama papamu dalam perjalanan ini. Maafkan aku yang terlalu riang.”

“Tidak masalah, Opa.” Aku menepuk bahu Opa. “Nanti akan kupikirkan nama yang baik. Sesuatu yang istimewa. Oh iya, aku belum bilang terima kasih sejak dua tahun lalu, bukan? Terima kasih atas hadiah kapal yang hebat ini. Opa selalu nomor satu.”

Wajah Opa kembali riang.

Menjelang siang, aku membantu dua kelasi memasang layar. Ditambah angin kencang, kekuatan mesin ribuan horsepower, kapal melaju cepat membelah ombak hingga 34 knot, terus ke utara, kecepatan penuh menuju perairan Laut Cina Selatan. Logistik penuh, peralatan navigasi canggih, dan tentu saja kapal yang tangguh. Ini perjalanan yang menyenangkan.

Jika laut sedang tenang, kami makan malam di geladak, beratapkan bintang gemintang. Jika laut sedikit menggila, perkiraan cuaca yang kami terima di layar kapal memberikan peringatan, aku langsung memutar kemudi menuju kota terdekat, mampir di Krabi Island, Thailand, misalnya.

“Hebat sekali.” Opa mengusap dahi, menatap keluar kaca jendela yang basah. Hujan deras, angin kencang, tapi kapal kami sudah tertambat kokoh di salah satu resor di perairan Krabi.

Aku menoleh, duduk malas menatap lautan yang gelap.

“Kami dulu bahkan tidak tahu apakah akan badai atau tidak. Hanya mengandalkan naluri nelayan tua di kapal. Sekarang kita bahkan bisa tahu enam jam sebelumnya.”

Aku mengangguk, ternyata “hebat” itu maksudnya. Sambil bersiap memperbaiki posisi duduk, Opa rasa-rasanya akan kembali mengulang cerita lamanya. Aku tidak pernah keberatan memasang wajah takzim mendengarkan.

Tiga hari kemudian, meskipun terhambat badai kecil di Krabi Island, kami tiba di pelabuhan kota kecil daratan Cina tepat waktu. Opa turun dari kapal dengan menumpang sekoci kecil, dan dia dengan wajah terharu menunjukkan semua potongan masa lalu yang dia ingat.

“Kita bisa terus melalui jalan setapak itu, Tommi. Dulu kami sembunyi-sembunyi melintasinya, pagi buta.” Opa menunjuk jalan yang ramai oleh orang-orang setempat berdagang. “Kau berjalan terus satu jam, nanti kau tiba di stasiun tua, lantas menumpang kereta. Dua hari satu malam, kau akan tiba di Beijing, melewati kampung halaman leluhur kita. Kau mau terus hingga ke sana?”

Aku tertawa, menggeleng. “Itu berlebihan, Opa.”

Opa ikut tertawa, mengangguk.

Setelah berjam-jam puas menghabiskan waktu mengunjungi setiap jengkal kenangan masa lalu, kami berlayar pulang ke arah selatan, melewati rute yang dulu dilakukan Opa.

“Setelah semua sekolah itu, kau akan ke mana, Tommi?” Opa mengajakku bicara, di malam kesekian. Purnama menghiasi angkasa, terlihat khidmat dari atas kapal yang terus melaju.

“Bekerja seperti orang kebanyakan.” Aku belum menangkap arah pembicaraan, asyik menatap layar navigasi.

“Maksudku, kau akan bekerja di mana, Tommi? Kau tidak tertarik bekerja di perusahaan keluarga?”
Aku menggeleng. Opa suda tahu jawabannya, buat apa dia bertanya?

“Kau tidak harus bekerja di perusahaan yang diurus Om Liem, Tommi. Kalian bisa mengurus perusahaan yang berbeda.”

Aku tetap menggeleng.

“Kalian sudah lama sekali tidak bertemu, bahkan saling tegur sapa pun tidak.” Opa menghela napas, menyerah. “Kalau kau bekerja di perusahaan orang lain, untuk anak muda secerdasmu, boleh jadi kau malah membesarkan perusahaan pesaing keluarga, Tommi.”

“Aku akan membuka kantor sendiri.”

“Oh, itu lebih baik.” Opa senang mendengarnya.

Aku tertawa pelan. “Lebih buruk, Opa. Aku akan membuka kantor konsultan profesional. Nah, boleh jadi aku memberikan nasihat keuangan kepada perusahaan pesaing keluarga.”

Opa menatapku sebentar, lantas ikut tertawa. “Kalau itu sudah menjadi rencanamu, Opa tidak akan memakasa, Tommi. Tapi sekali-dua, itu pun jika kau bersedia, bolehlah memberikan nasihat yang baik pada kami, terutama pada ommu. Sejak kembali mengurus bisnis, dia seperti orang kesetanan, melakukan apa saja, penuh ambisi.”

Aku menyeringai. “Tidak ada yang bisa menasihatinya, Opa. Dulu tidak, sekaranng juga tidak.”

Opa manggut-manggut setuju, menatap lurus ke lautan yang tenang sekali, bagai tak beriak. Pantulan purnama terlihat elok di permukaan laut. Kapal terus melaju stabil, lengang sejenak. Ini hari kesebelas perjalanan kami. Sudah setengah jalan melewati rute pengungsian Opa dulu.

“Aku senang kau tidak tumbuh ambisius seperti om dan papamu dulu, Tommi. Kupikir kau jauh lebih arif, kau lebih mirip denganku.” Opa memecah senyap suara mesin dan baling-baling kapal yang terdengar menderum samar dari balik dinding kedap suara.

“Kejadian menyakitkan selalu mendidik kita menjadi lebih arif. Kau dengan kematian papa dan mamamu. Dan aku, waktu aku masih muda dulu, menumpang kapal kayu bocor itu, mengungsi dari perang saudara, banyak kebijaksanaan hidup yang kupelajari.”

Aku menyengir, ini untuk kesekian kali Opa mulai bertingkah seperti kaset rusak.

“Aku sungguh tidak takut mati waktu itu, Tommi.” Opa terus bercerita, tidak melihat seringai wajahku.

“Badai, kehabisan bekal, minum air asin, ditembaki kapal Belanda, itu semua makanan sehari-hari. Termasuk cerita-cerita seram tentang legenda lautan, itu tidak mempan.” Opa menghela napas sejenak. “Hingga suatu saat nelayan senior bercerita. Astaga, itu cerita paling seram yang kudengar, membayangkannya, bahkan setelah berpuluh-puluh tahun aku tetap merinding.”

Lengang lagi sejenak. Aku terus memegang kemudi kapal, menatap lurus.

Opa yang menoleh, menatapku bingung. “Kau sepertinya tidak sepenasaran seperti dua tahun lalu, Tommi? Bukankah dulu kau mendesak ingin tahu?”

Aku tertawa, menggeleng.

Opa terlihat kecewa. “Kau sungguh tidak ingin tahu lagi, Tommi? Padahal aku sudah sengaja benar membuat variasi ini agar kau tidak bosan mendengar cerita masa laluku yang itu-itu saja.”

Aku kembali menggeleng, menatapnya penuh penghargaan. “Bukan itu masalahnya, Opa. Aku selalu senang mendengarnya, itu selalu membuatku paham masa lalu keluarga kita, tahu diri. Tetapi soal kisah seram nelayan itu, aku sudah tahu.”

“Kau tahu? Dari mana kau tahu?”

Aku menyengir. “Dua tahun sekolah di luar, ada banyak yang ingin kupelajari. Termasuk PR itu, aku mencari tahu ke mana-mana. Buku-buku, berita, apa saja. Lama sekali aku menemukan penjelasannya. Hingga mendatangi perkampungan nelayan di pesisir, ratusan kilometer dari sekolah bisnis. Satu-dua nelayan tua di sana masih ingat dengan cerita itu.”

Opa terdiam, menyelidik, memastikan apakah aku sungguh-sungguh atau pura-pura saja.

“Lihat, laut tenang sekali. Samudra luas yang bernama Pasifik, ‘Kedamaian’. Semua nelayan amatir, pelaut pemula, selalu menilai lautan setenang dan sedamai ini berkah. Aku tahu cerita itu, Opa. Dan aku tahu itu bukan sekadar legenda, meski tidak ada penjelasannya hingga hari ini. Aku membuka tumpukan kliping berita, berpuluh-puluh kapal hilang, bahkan bukan hanya yang mengapung di lautan, yang terbang di atas juga hilang, belasan pesawat tempur, belasan pesawat komersial. Aku tahu.”

Opa menelan ludah. Ruang kemudi lengang sejenak.

“Puluhan tahun silam, setelah mendengar cerita itu, Opa takut sekali kalau perahu kayu yang tua dan bocor itu tersesat ke sana, bukan? Wilayah paling misterius di Samudra Pasifik. Cemas kalau kapal bukannya menuju tanah terjanjikan di arah selatan, malah bergerak tidak sengaja ke timur, masuk dalam perangkap tenangnya permukaan samudra. Hilang dalam catatan sejarah. Aku tahu, Opa. Tetapi dengan sistem navigasi hebat masa kini, tidak ada nelayan, nakhoda kapal, atau pilot pesawat sekalipun yang cukup bodoh melewati wilayah itu.” Aku menunjuk layar kemudi, tertawa pelan. “Lihat, kita ribuan kilometer dari sana. Terus mengarah ke selatan, jadi seratus persen aman.”

Opa menghela napas. “Ternyata kau sudah tahu, Tommi.”

Aku mengangguk.

“Baiklah, aku akan beristirahat. Sudah larut malam.”

Aku tersenyum, Opa beranjak keluar.

“Satu lagi, Tommi.” Opa sempat menoleh sebelum sempurna keluar. “Kau tidak seharusnya meremehkan cerita itu walaupun kapal ini dilengkapi sistem navigasi hebat. Lautan tetaplah lautan.”
“Yes, Sir!” Aku menaruh tangan di kening.

Opa menutup pintu.

Itu pelayaran pertamaku. Sejak hari itu aku memutuskan memberi nama Pasifik pada kapal pesiar besar hadiah Opa. Kadek bergabung lima tahun kemudian. Aku banyak sekali menghabiskan waktu di kapal ini. Dalam banyak hal, masa-masa pentingku ada di kapal ini.

Belasan tahun kemudian, seperti yang kuduga, kapal ini juga tetap menjadi saksi hebat hidupku. Pertempuran pertama yang kulakukan atas nama masa lalu.


***
Inilah pertempuran pertama itu.

Persis setelah penjaga gerbang dermaga menelepon, aku meneriaki Opa dan Om Liem agar berlindung di kamar, menyuruh mereka tiarap. Aku terus berlarian menuju ruang kemudi. Kadek sudah lompat ke arah buritan.

Terlambat. Kadek baru setengah jalan melepas ikatan tali-temali kapal, mobil taktis polisi sudah memasuki dermaga---petugas gerbang tidak kuasa menahan mereka lebih lama lagi. Aku yang sudah berdiri di belakang kemudi kapal, bersiap menekan pedal gas sekencang mungkin jika ikatan kapal telah terlepas, melihat belasan polisi berlompatan dari mobil.

“Jangan biarkan mereka lolos!” Komandan mereka berteriak kencang, merobek pagi yang tenang.

Senjata-senjata teracung ke depan, mereka bergerak hati-hati mendekati kapal. Posisi mereka tinggal belasan meter dari buritan.

“Berhenti atau kami tembak!” Komandan menyambar toa, berteriak.

Kadek tidak peduli, dia terus melepas tali.

Tidak akan sempat, aku mengutuk dalam hati. Berpikir cepat, lantas mengangkat Kalashnikova yang sempat kuambil di kamar sebelum berlari menyalakan mesin. Aku memutuskan menarik pelatuk senjata sebelum mereka menembak. AK-47 itu teracung sempurna ke rombongan polisi yang siap menyergap.

“Berlindung!” Salah satu anggota polisi yang melihatnya berteriak kalap.

Belum habis gema teriakannya, senjata serbu yang kudekap telah memuntahkan peluru dengan kecepatan hingga 600 butir/menit, membuat lantai dermaga seperti ditimpa gerimis, semen lantai merekah, berhamburan bersama kelotak peluru.

Belasan polisi itu kalang kabut mencari posisi berlindung, kembali ke belakang mobil taktis. Mereka sepertinya tidak menduga akan menerima sambutan semeriah ini. Komandan polisi berteriak serak, meneriaki anak buahnya. “Tembak kapal itu! Habisi mereka!”

Aku mendengus. Dasar bodoh, aku sama sekali tidak mengincar mereka, aku hanya menyuruh mereka mundur, memberikan kesempatan pada Kadek menyelesaikan tugas.

Jangan lakukan. Rahangku mengeras. AK-47 yang kupegang dengan cepat menembaki salah satu sisi mobil. Salah satu dari polisi yang sudah dalam posisi berlindung berusaha membalas tembakan. Satu lubang berhasil kututup. Dua lubang lain muncul. Mereka mulai balas menembaki kapal. Dua, tiga peluru menghantam kaca ruang kemudi, berhamburan, aku menunduk, menghindari pecahan kaca. Lebih banyak lagi peluru yang mengarah ke buritan, membuat pekerjaan Kadek terhambat.

Kami kalah jumlah. Aku mengepalkan tinju. Polisi sialan ini sungguh tidak menyadari, kalau aku berniat jahat pada mereka, sejak tadi aku bisa menembaki tangki bensin mobil taktis, dan dalam hitungan detik, mereka yang berlindung di balik mobil menjadi kepiting bakar bersamaan dengan meledaknya mobil. Tetapi itu tidak bisa kulakukan. Aku menggeram berpikir keras, aku harus bergerak cepat.

“Naik ke ruang kemudi, Kadek!” aku berteriak.

Kadek yang masih tiarap di buritan mendongak, tidak mengerti.

“Bergegas!” aku menyuruh, “akan kulindungai kau.”

Senapanku kembali terarah ke mobil taktis, secara spartan menembaki setiap jengkal kemungkinan ada moncong senjata terarah pada buritan kapal.

Kadek bangkit, berlari cepat menuju ruang kemudi, desing peluru balasan menerpa anak tangga, membuat dinding-dinding kapal merekah.

“Pegang kemudinya!” aku berseru, tanganku masih terus menarik pelatuk senjata.

Kadek membungkuk, memegang kemudi.

Aku mengarahkan laras panjang AK-47 ke arah bibir dermaga, menembaki tiang tempat kapal tertambat. Dua, enam, sepuluh peluru menghantamnya. Tiang beton itu roboh. Ikatan tali-temali terburai lepas.

Kadek yang mengerti apa yang kurencanakan, segera menekan pedal gas bahkan sebelum tiang beton itu sempurna roboh, dan Pasifik segera menderum kencang, meninggalkan dermaga.

Kami kabur di bawah rentetan suara tembakan polisi---yang semakin lama semakin samar.

Setengah menit, kami sudah jauh. Aku menyeka pelipis, melemparkan senjata ke lantai ruang kemudi.

“Kau baik-baik saja?”

Kadek tertawa kecil. “Ini seru, Pak Thom. Aku baik-baik saja.”

Aku menyeringai. “Kita berlayar meninggalkan Jakarta, Kadek. Kauarahkan kapal ini ke Manila, Filipina, jaga jarak kau dengan pesisir pantai seaman mungkin. Aku akan memeriksa Opa dan Om Liem di bawah, termasuk memeriksa kapal. Jika semua baik-baik saja, kauantar aku merapat ke salah satu pulau wisata yang kita lewati. Aku akan naik kapal lain kembali ke Jakarta.”

“Siap, Komandan.” Kadek memasang gerakan hormat militer.

Aku sudah bergegas menuruni anak tangga.


*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Jangan Membanding-bandingkan Anak Kita Dengan Anak Orang Lain - Oleh Ippho Santosa



Apa jadinya kalau diri Anda dibanding-bandingkan dengan orang lain? Jujur saja, orang dewasa sangat tidak suka jika dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain, gitu kan? 

Sejatinya, anak-anak pun demikian, di mana mereka merasa direndahkan saat dibanding-bandingkan. Orangtua entah sadar atau tidak sadar, sering membandingkan si anak dengan kakaknya atau adiknya atau anak lainnya. 

Berharap si anak dapat mencontohnya tapi ternyata itu malah menyakitkan hatinya. Dan bukan sekedar itu saja, anak yang sering dibanding-bandingkan akan merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai, sehingga runtuhlah rasa percaya dirinya untuk tumbuh dan berkembang. 

Nah, jika orangtua tidak segera memperbaiki hal ini, rasa inferior akan tertanam secara mendalam pada si anak hingga dewasa nanti. Minder, dendam, atau tidak merasa damai adalah sejumlah dampaknya.

Sebagaimana sistem otak bekerja, saat anak tidur ringan dalam kondisi otak alpha, pengalaman anak apapun di hari itu akan masuk ke otak bawah sadar anak dan pengalaman itu baru bisa hilang 10-14 tahun kemudian. 

Perhatikan baik-baik, inilah yang menyebabkan kenapa sebuah pengalaman kecil akan tetap teringat hingga dewasa dan mempengaruhi sikap orang-orang dewasa. 

Tanpa perlu membanding-bandingkan, berilah anak pengajaran dan kasih-sayang. Ketika anak-anak riang dan dicurahi kasih-sayang, maka keluarlah segala potensi yang terpendam. Ketika mereka murung? Sebaliknya, potensi mereka akan terkurung.



Ditulis oleh Ippho Santosa & Tim Khalifah

---

Artikel di atas saya dapatkan dari grup Whatsapp milik Ippho Santosa

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 23 - Sekolah Berasrama

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

 USIAKU masih sepuluh tahun saat mengantar botol susu untuk terakhir kalinya.

Sepedaku menikung masuk ke jalan menuju rumah, bersenandung riang karena seluruh botol susu yang kubawa habis, ditukar dengan botol kosong oleh tetangga yang membeli. Suara botol beradu di kotak belakang sepeda terdengar bergemerincing, membuatku menyeringai, Mama akan memberiku uang jajan tambahan, aku perlu banyak uang untuk membeli buku-buku yang kusuka.

Sayangnya tidak ada lagi uang jajan dari Mama. Persis habis tikungan, mendongak ke depan, bersiap mengayuh pedal sepeda secepat mungkin seperti yang aku biasakan, ngebut, aku menatap bingung kerumunan, masih enam ratus meter, tapi asap hitam terlihat mengepul tinggi, sirene mobil pemadam kebakaran dan teriakan orang terdengar nyaring bersahut-sahutan. Dan sebelum sempat aku bergumam ingin tahu, sepedaku sudah disambar oleh seseorang.

Aku berseru kaget, hampir terbalik.

“Jangan ke sana, Thomas. Jangan ke sana.” 

Dua, tiga, empat orang sudah menarikku masuk ke dalam gang sempit. Wajah-wajah cemas, wajah-wajah takut.

Aku balas menatap mereka, bingung, apa yang telah terjadi? Kenapa aku tidak boleh pulang? Salah satu dari mereka justru menangis, memelukku erat-erat, berbisik, “Bersabar, Nak. Tuhan sungguh sayang dengan orang sabar.”

Sejak hari itu, bagai kapal berputar haluan, kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat. 

Terlepas dari ambisi besar Om Liem dan Papa Edward, cara-cara mereka berbisnis yang sering kali tegas dan keras, seluruh tetangga menyayangi keluarga besar kami, terutama Mama. Bagi kebanyakan keluarga yang tinggal di dekat rumah sekaligus gudang tepung terigu kami, Mama adalah segalanya. Mama memberikan mereka pekerjaan, membantu anak-anak sekolah, mengirimkan dokter jika ada yang sakit, memberikan bingkisan setiap hari besar, dan tidak terhitung botol susu serta makanan yang kubagikan.

Merekalah yang mati-matian menahanku sampai malam. Ketika halaman rumah kami benar-benar sepi dari orang. Karena aku terus berteriak, mendesak, bertanya apa yang telah terjadi, dini hari, beberapa tetangga dengan membawa senjata, berjaga-jaga, mengantarku ke sana. Aku hanya bisa jatuh terduduk, menatap gentar puing hitam yang ditimpa cahaya sepotong bulan. Satu-dua bara masih menyala, terlihat merah, terdengar bergemeletuk pelan. Aku membeku. 

Aku sungguh tidak menangis, tidak berteriak, hanya menatap kosong sisa rumah dan gudang.

Kejam sekali kehidupan. Kejam sekali orang-orang itu.

Persis saat matahari pagi menerpa kota, setelah tetangga berembuk satu sama lain, memastikan Papa dan Mama seratus persen telah meninggal, ikut terbakar, kabar Opa dan Tante yang berhasil lari tetapi tidak diketahui ke mana, berusaha menghubungi Om Liem yang juga tidak jelas di mana, apakah masih di pelabuhan, atau entahlah, mereka akhirnya memutuskan mengirimku pergi ke kota lain. Ada kenalan yang menjadi pengajar di sekolah untuk anak-anak yatim-piatu. Itu pilihan yang paling aman, karena banyak petugas, dan orang-orang tidak dikenal masih berusaha mencari anggota keluarga kami yang tersisa. Wajah-wajah sangar dan penasaran.

Aku diberikan bekal sekotak roti, tas ransel berisi pakaian, hasil patungan tetangga. 

Satu-dua ibu-ibu tetangga memelukku, menangis, berbisik tentang esok lusa semua akan kembali baik, esok lusa semua akan pulih, janji-janji masa depan. Aku mengangguk datar, bilang, “Thomas akan baik-baik saja, Ibu.” Dan mereka tambah keras menangis. Aku diantar ke stasiun kereta, membawa selembar tiket, duduk rapi, menatap rumah-rumah, bangunan, dan pohon-pohon berbaris seiring roda baja kereta berderak berangkat.

Satu hari sejak kejadian, aku resmi tinggal di sekolah berasrama.

Meninggalkan jasad Papa, Mama yang menjadi abu.

Pengajar sekolah berasrama menghapus riwayat hidupku. Tidak ada lagi nama keluarga di namaku, hanya satu kata Thomas, isian berikutnya hanya: anak yang ditemukan di jalanan, tidak diketahui bapak-ibunya. Mulailah kehidupan baruku. Makan dijatah, tidur diranjang tingkat, berbagi kamar dengan belasan anak lain. Kabar baiknya, sekolah berasrama itu hebat, aku punya teman senasib.

Enam bulan kemudian aku membaca kabar Om Liem dipenjarakan. Beritanya ada di koran, nyempil di halaman dalam, tidak mencolok. Satu tahun berlalu, aku tetap tidak tahu apa kabar Opa dan Tante.
Usiaku dua belas, barulah aku tahu kabar mereka. 

Waktu itu aku persis sedang ujian akhir. Guru pengawas bilang ada seseorang yang ingin bertemu, mendesak, mengizinkanku meninggalkan ujian sebentar. Aku berjalan ragu-ragu menuju ruangan kepala sekolah. Dua tahun terakhir, aku selalu cemas bertemu dengan orang asing, jangan-jangan mereka adalah orang jahat yang dulu membakar rumah kami.

Pintu ruangan kepala sekolah dibuka, Tante berdiri dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun. Tante sudah loncat, memelukku erat-erat, menangis. Tante bilang, dia, Opa, bibi, semua yang berhasil lari pindah ke Jakarta, dengan uang tabungan milik Opa, dibantu karyawan gudang yang masih setia, mereka mengontrak rumah dan memulai bisnis baru. Tante menceritakan banyak hal, membuatku terdiam lima belas menit kemudian.

Tetapi aku menggeleng saat Tante mengajakku pulang. 

Inilah keluarga baruku sekarang. Sekolah berasrama. Aku akan menamatkan sekolah di sini. Melupakan banyak hal. Lebih dari tiga kali seminggu kemudian, Tante bolak-balik ke sekolah, membujukku. Di kunjungan ketiga, dia datang bersama Opa, bibi, semua orang-orang yang kukenal, berusaha membujuk.

Jawabanku tetap tidak.

Opa tersenyum, mengacak rambutku yang tidak pernah kupotong sejak kejadian. “Kalau begitu, maka sekali dua berkunjunglah melihat kami, Tommi. Aku akan senang sekali jika kau melakukannya.”

Aku mengangguk mantap. Hanya Tante yang terus keberatan, dia masih terus mengunjungi setiap bulan, membawa pakaian, makanan, apa saja yang membuatku nyaman tinggal di asrama. Bagiku, dia menjadi pengganti Mama yang baik.

Di penghujung tahun ketiga, libur panjang, dengan membawa ransel aku pergi ke rumah Opa. Itu kunjungan pertama. Bukan rumah yang di Jakarta, tapi yang di Waduk Jatiluhur.

“Kau benar-benar berubah, Tommi.” Opa memelukku, amat riang dengan kedatanganku. “Maksudku, lihatlah, kau ternyata telah memotong rambut. Kupikir kau akan terus membiarkan rambutmu tumbuh berantakan sejak kejadian itu.”

Aku tersenyum, menatap wajah Opa yang semakin tua.

Sepanjang hari dia mengajakku melakukan apa saja. Belajar menyetir mobil---aku membuat mobilnya menggelinding masuk ke dalam waduk, belajar mengemudi speedboat, duduk mencangkung di atas kapal nelayan, memancing, atau duduk meluruskan kaki di belakang rumah sambil memainkan klarinet. Tertawa, bergurau, dan tentu saja kebiasaan buruk Opa, menceritakan masa mudanya, persis seperti kaset rusak. Membahas bisnis baru Opa yang maju pesat, sebenarnya dia jauh lebih pandai berbisnis dibanding memainkan alat musik.

Saat ulang tahunku yang kedelapan belas, Opa menghadiahkan mobil balap itu. Aku tidak datang, bilang sedang ujian akhir. Alasan sebenarnya adalah: Om Liem sudah keluar dari penjara, bergabung kembali dengan keluarga. Aku tidak mau bertemu dengannya. Aku hanya berkunjung ke rumah peristirahatan Opa jika Om Liem tidak ada di sana.

Usia dua puluh dua, satu minggu sebelum keberangkatanku kuliah di sekolah bisnis, Opa memintaku menemaninya pergi ke Pelabuhan Sunda Kelapa.

“Ini kapalmu, Tommi.” Opa terkekeh saat melihatku bingung.

Aku menoleh, bolak-balik, wajah Opa, kapal besar yang merapat anggun di dermaga.
“Kau boleh memberinya nama apa saja, Tommi.”

Aku menelan ludah. Opa tidak sedang bergurau, bukan? Opa tertawa lagi. Opa selalu baik padaku. Meski Papa dulu berkali-kali memaksakan pemahaman bahwa tidak ada hadiah untuk Tommi kalau dia tidak bekerja keras di rumah, Opa selalu memberiku hadiah spesial, amat dermawan.

“Berapa usiamu sekarang? Dua puluh dua bukan? Waktu aku seusiamu sekarang, Tommi, aku persis berada di perahu kayu yang sempit, terombang-ambing melintasi lautan bersama belasan pengungsi, berusaha mencari negeri yang lebih baik.”

Aku mengangguk. Opa sepertinya kembali bercerita tentang masa lalunya.

“Lihatlah, kau jauh bernasib baik, Anakku, kau tumbuh menjadi anak muda yang pintar, gagah, penuh kesempatan. Apa nama sekolah bisnismu itu? Astaga, kudengar hanya orang-orang paling pintar di dunia yang bisa sekolah di sana?”

Aku tertawa pelan, tidak menanggapi gurauan Opa, konsentrasi mengemudi kapal.

“Waktu itu,” suara Opa terdengar pelan, sedikit bergetar, “aku tidak takut mati, Tommi.”

Aku menoleh, sepertinya ada yang berbeda dengan cerita Opa kali ini.

“Apa pula yang harus ditakutkan anak muda yatim-piatu, miskin, mengungsi dari perang saudara dan kemiskinan di daratan Cina sepertiku. Mati boleh jadi pilihan terbaik. Semua orang di dalam perahu nelayan itu juga tidak takut mati. Kami senasib, sepenanggungan. Berjudi dengan masa depan.”

Opa diam sejenak, menatap bintang-gemintang. Kapal yang kukemudikan maju perlahan, membelah ombak, terus menuju perairan Kepulauan Seribu.

“Badai, perahu kayu bocor, melintasi kapal perang Belanda, ditembaki, kehabisan bekal, air minum, semua biasa saja. Itu makanan sehari-hari. Rasa-rasanya tidak ada cerita seram tentang lautan yang membuat kami gentar. Hingga suatu hari, salah satu nelayan yang membantu kami mengungsi bercerita. Itu sungguh sebuah cerita yang membuat bulu kuduk merinding.”

Aku menoleh pada Opa, membiarkan kemudi terlupakan beberapa detik. 

“Aku bahkan masih merinding saat mengingatnya, Tommi.” Opa mengusap wajahnya.

Di luar kelaziman, aku kali ini benar-benar menunggu kalimat berikut Opa, persis seperti pencinta cerita bersambung di koran-koran yang tidak sabaran.

Sial, Opa ternyata hanya terkekeh, melambaikan tangan, kembali dengan takzimnya menatap gelap yang menyelimuti lautan.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Minggu, 26 Februari 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 22 - Pengkhianat di Antara Kita

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

 SUARA sendok terdengar di antara lenguh kapal yang meninggalkan dermaga.

“Mereka berdua sudah merencanakan ini sejak lama, Opa.” Aku menatap Opa lurus. “Situasinya sama dengan puluhan tahun lalu. Bahkan nyaris serupa, ada sesuatu yang rasa-rasanya ganjil. Ada potongan yang hilang, tidak pernah terjelaskan.”

Opa balas menatapku, meletakkan sendok. Nasi goreng spesial buatan Kadek masih tersisa separuh di atas piring. “Ganjil seperti apa, Tommi?”

“Aku belum tahu, Opa. Yang aku tahu, mereka tidak sepintar itu. Walaupun amat berkuasa, mereka juga tidak sekuat yang mereka bayangkan, pasti ada orang lain di belakang mereka.”

Opa menggeleng perlahan. “Aku sudah terlalu tua untuk berimajinasi sepertimu, Tommi. Maksudku, imajinasi dalam artian positif, mengerti kaitan masalah, sambung-menyambung sebuah penjelasan. Aku hanyalah pemain musik amatir. Sejak dulu aku sudah bilang pada Liem dan papamu, Edward. Cukup. Keluarga kita sudah lebih dari diberkahi dewa-dewa. Bahkan kapal yang indah ini, tidak terbayangkan waktu aku masih berdesak-desakan di kapal kayu bocor, mengungsi, mencari dunia yang lebih baik. Boleh jadi kau benar, mereka sekali lagi memang hendak berniat jahat pada keluarga kita. Boleh jadi kau juga benar soal ada orang lain di belakang mereka, yang lebih jahat, lebih kuat, menginginkan semua perusahaan keluarga. Maka semua ini seperti tidak ada ujungnya, bukan? Bukankah Liem, Edward, dan aku sendiri juga tamak? Seharusnya kita berhenti sejak arisan berantai itu, seharusnya aku bilang tidak pada Liem sejak lama, maka boleh jadi keluarga kita tetap utuh. Papamu, mamamu, boleh jadi bisa duduk di salah satu kursi, ikut sarapan bersama.”

Meja makan lengang, ombak membuat kapal bergerak pelan. Udara laut di pagi hari terasa kering. Sudah lama sekali Opa tidak ikut berkomentar dalam urusan keluarga. Kalimat panjangnya barusan bahkan membuatku menelan ludah, urung bertanya beberapa hal tentang kejadian masa lalu yang mungkin bisa jadi petunjuk masa sekarang.

“Ternyata kau tidak bergurau, Tommi.” Setelah satu menit melanjutkan sarapan, Om Liem yang pertama kali memecah debur ombak. “Kau sungguhan baru saja keluar dari penjara. Apa kabar mereka berdua? Letnan satu Wusdi dan jaksa muda Tunga itu?”

Aku tertawa hambar. “Mereka sehat. Bahkan lebih sehat dibanding kau. Tidak ada yang berubah dengan mereka. Tapi ibarat foto, warnanya semakin cemerlang, piguranya semakin gagah. Aku amat mengenali suara mereka saat menghujamkan alat setrum ke perutku.”

Om Liem terdiam, menelan ludah. Opa menghela napas.

Kami sudah hampir lima belas menit sarapan. Setelah semua duduk di kursi, Kadek membagikan piring nasi goreng yang mengepul, menguar aroma lezat, lantas dia cekatan mengisi gelas dengan teh hangat. Sarapan dimulai. Opa bertanya dari mana saja aku sepanjang malam. Aku menceritakan berbagai kejadian, termasuk reuni dengan bintang tiga polisi dan jaksa senior itu.

Satu-dua burung camar memekik nyaring.

“Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita. Di masa lalu, mereka berdua tidak akan pernah berhenti sebelum tujuan mereka berhasil, bahkan dengan cara-cara paling licik sekalipun.” Om Liem bersandar pelan, setelah tawaku reda.

“Ya, kali ini aku sepakat denganmu. Mereka tidak akan pernah berhenti.” Aku mengangguk. “Selain pertanyaan siapa orang kuat di belakang mereka berdua, masih ada hal lain yang perlu dicemaskan.”

Om Liem dan Opa menatapku.

“Ada pengkhianat di antara kita,” aku berseru datar.

“Astaga? Kau tidak sedang bergurau, Tommi?” Om hampir tersedak.

Aku menggeleng, menatap tajam Om Liem. “Bukankah itu jelas sekali. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri. Ada yang memberitahu banyak hal kepada dua orang itu, menjadi mata-mata. Pengkhianat itu boleh jadi orang-orang yang kau percayai selama ini, letnan bisnis yang kaumiliki.”
Om Liem menepuk pelipisnya, tidak percaya.

Opa menggelengkan kepalanya. “Kau berlebihan, Tommi. Kau keliru.”

“Aku tidak mungkin keliru, Opa, dan aku tidak pernah berlebihan. Ada pengkhianat di antara kita. Jadi sebelum waktu membuka wujud aslinya, lebih baik semua orang yang ada di kapal ini berhati-hati.”

“Astaga, Tommi, kau membuat situasi semakin rumit dengan berprasangka buruk ke orang-orang yang selama ini dekat dengan keluarga atau perusahaan.” Opa mengetukkan tongkatnya ke lantai kapal. “Kau tidak mungkin menuduh Kadek misalnya, atau Ram, atau siapa saja orang kepercayaan Om Liem.”

Aku menggeleng. “Aku tidak menuduh Kadek, Opa, tentu saja, karena aku tahu persis siapa dia. Tetapi orang lain, orang-orangnya dia, mana aku tahu.”

“Apa alasannya, Tommi? Buat apa mereka berkhianat?”

“Aku tidak tahu, Opa. Mereka tidak perlu alasan besar untuk melakukannya, sedikit janji manis, iming-iming, itu sudah lebih dari cukup bagi seorang pengkhianat bahkan untuk menusuk balik induk semang, orang yang selama ini membantu, memberikan kesempatan, membesarkannya.” Aku menjawab kalimat Opa dengan intonasi datar.

Opa menatapku lamat-lamat, menghela napas.

Dapur kembali lengang, menyisakan suara televisi yang samar-samar. Kadek masih dengan celemek di dada sedang menyiapkan menu penutup sarapan, roti kecil yang lezat.

Aku menatap televisi mungil tergelantung di atas tiang.

Mereka sedang menyiarkan berita pagi, liputan menteri yang dikerumuni banyak wartawan.
Aku meraih remote, tertarik, membesarkan volume televisi.

“Ibu Menteri, kapan komite akan memutuskannya?” Salah satu wartawan menyeruak, mik terjulur ke depan, lampu sorot kamera bersinar terang.

“Besok pagi, besok pagi. Keputusan diselamatkan atau tidak, semua ada di tangan komite. Kami sedang mengumpulkan banyak data dan informasi, besok pagi baru akan diputuskan apakah rapat komite stabilitas sistem keuangan, apa? Ya?” Dengan wajah khasnya yang berpendidikan tinggi, menteri berusaha menjawab santai pertanyaan yang mengepung. Salah satu wartawan sudah memotong, mendesak.

“Belum tahu. Jika situasinya terus memburuk, kecemasan meninggi, rapat komite bisa dilakukan kapan saja. Kami sudah punya beberapa data, bank sentral bilang setidaknya membutuhkan dana 1,3 triliun untuk menalangi Bank Semesta. Ya? Tidak sekarang lah, ini pukul sebelas malam.” Menteri tersenyum, terus melangkah, ajudannya berusaha membuka jalan menuju mobil.

Aku bergumam pelan, 1,3 triliun, sepertinya Erik dan sobat dekatnya di bank sentral melakukan tugas dengan baik. Itu angka pembuka yang baik, lebih rendah dari yang kuminta, 2 triliun. Angka ini kecil saja dibandingkan risiko dampak sistemis, siapa pun akan tutup mata jika angkanya hanya sebesar itu. Nanti malam, atau kapan saja rapat dilaksanakan, Ibu Menteri pasti pening ketika melihat angka yang ada berkali-kali direvisi oleh otoritas bank sentral---dan situasinya mendesak, kadung harus diputuskan.

“Tidak ada. Tidak ada laporan seperti itu.” Menteri menggeleng, menanggapi pertanyaan berikut, tetap tersenyum meski sepertinya dia bekerja keras sepanjang hari ini. “Bank sentral hanya melaporkan rasio kecukupan modal terus turun beberapa minggu terakhir, melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Pengelolaan banknya buruk, kesalahan manajemen, tapi kami belum menerima laporan kalau Bank Semesta bobrok, pemiliknya jahat, atau melakukan kecurangan.”

Aku bergumam lagi, sepertinya Erik dan temannya bahkan sekarang terlalu serius mempermanis laporan paling mutakhir Bank Semesta. Layar televisi sejenak masih memperlihatkan belasan wartawan yang terus mendesak dan ajudan menteri yang berhasil menyibak kerumunan. Menteri bergegas melangkah masuk ke dalam mobil. Pintu ditutup segera. Dia melambai meninggalkan halaman depan kantornya. Layar televisi kembali ke pembawa acara.

Aku mengusap rambut dengan telapak tangan. Itu pernyataan menteri tadi malam, setelah konferensi pers yang juga dihadiri Julia. Pembawa acara yang selalu cantik dan tidak beperasaan itu---bahkan dalam berita paling buruk sekalipun dia tetap semangat siaran---sudah asyik berbicara dengan pengamat ekonomi terkemuka, membahas berbagai kemungkinan. Aku sudah memindahkan saluran ke televisi lain, loncat satu per satu, memeriksa headline berita pagi mereka. Aku menyeringai tipis. Pertemuan kecil dengan belasan wartawan senior dan kepala editor di salah satu restoran kemarin berhasil. Pagi ini semua orang sibuk membicarakan tentang kemungkinan dampak sistemis.

Koran pagi yang dilemparkan loper ke kapal juga dipenuhi berita sama. Padahal pertanyaan yang paling penting, yang justru seolah lupa mereka bahas adalah: di mana pemilik Bank Semesta sekarang? Di mana Om Liem. Tidak ada yang sibuk memuatnya, walau sepotong paragraf. Mereka lebih sibuk membahas tentang kalimat sakti: bahaya dampak sistemis. Esok lusa, ketika masalah Bank Semesta meletus bagai bisul bernanah, barulah orang-orang sibuk memuat pernyataan salah satu pejabat negara yang bilang seharusnya Om Liem segera dijebloskan ke dalam penjara. Dua orang bedebah itu sepertinya berhasil melokalisir isu pelarian Om Liem dan kami selama ini menjadi agenda pribadinya saja, belum ada wartawan yang tahu. Mereka leluasa sekali memanfaatkan institusinya demi kepentingan pribadi.

Aku menghabiskan teh di dalam gelas, berdiri, sudah setengah jam, waktuku habis.
“Kau hendak pergi lagi, Tommi?” Opa bertanya.

Aku mengangguk. Ada banyak yang harus kukerjakan.

“Selalu hati-hati, Tommi,” Opa berpesan.

Aku mengangguk, mendekati Kadek.

“Terima kasih atas sarapan lezatnya, Kadek. Aku menitipkan lagi mereka berdua padamu, hidup atau mati.” Aku menepuk bahu Kadek, hendak melangkah menuju buritan kapal.

Telepon satelit Kadek lebih dulu berdering kencang, sebelum Kadek menjawab kalimatku. Dia bergegas meraih telepon yang tergantung di dinding. Berbicara sejenak.

“Pak Thom!” Kadek berseru.

Aku yang sudah di ruang tengah kapal terhenti, menoleh, ada apa?

“Ada satu mobil penuh dengan polisi berseragam tempur merapat di pos jaga dermaga.” Kadek berseru, suaranya bergetar. “Mereka mencari Om Liem, Opa, dan Pak Thom.”

Astaga? Aku menatap Kadek, memastikan dia tidak sedang mabuk laut.

“Petugas pos jaga bilang mereka sedang berusaha menahan mobil polisi memasuki dermaga, tapi mereka tidak akan bertahan lama. Bagaimana ini, Pak Thom?” Kadek bertanya cemas.

Aku meremas jemari, cepat sekali mereka menemukan posisi kami, sepertinya petinggi polisi itu sudah bangun, dan menyadari tahanannya kabur. “Bergegas, Kadek! Lepaskan ikatan kapal, aku akan segera menghidupkan mesin, memegang kemudi, kita berlayar! Kabur.”

Kadek tidak perlu menunggu diteriaki dua kali, dia melemparkan telepon satelit, berlari tangkas menuju buritan kapal.

*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Sabtu, 25 Februari 2017

Novel 'Bintang' By Tere Liye - Novel Terbaru Yang Akan Segera Terbit

darwis tere liye
Tere Liye



Ada kabar gembira untuk para pecinta novel-novelnya Tere Liye nih. Kabarnya, juni 2017 nanti akan terbit novel terbarunya yang berjudul 'Bintang' serentak di toko-toko buku Indonesia.

Berikut cuplikan dari novel bintang yang di share di page resmi Tere Liye di facebook.

*Novel "BINTANG"


Kami pulang terlambat sekali setelah bertemu dengan Miss Selena di ruangan guru BP sekolah. Bertiga, menumpang angkutan umum berwarna kuning. Hanya kami isi angkot itu.

Ali terlihat bersungut-sungut, dia masih tidak terima Miss Selena melarang kami menggunakan Buku Kehidupan untuk membuka portal dunia paralel.

Pukul dua siang, di luar kendaraan terasa panas. Ali membuka jendela angkot lebar-lebar. Gerah. Jalanan macet, berisik suara klakson sesekali meningkahi suasana. Di perempatan depan, bertambah pula masalah kami. Dua orang laki-laki dewasa, mungkin usianya sekitar tiga puluh tahun, dengan pakaian semrawut, rambut berantakan, naik ke atas angkutan. Mereka sepertinya preman kota yang belakangan sering mengganggu penumpang kendaraan umum.

Seli berbisik, bilang apakah kami sebaiknya bergegas turun. Dua penumpang ini menatap kami tajam, mengancam. Belum sempat aku menyetujui pendapat Seli, dua preman itu telah beranjak duduk, membuat kami terpojok di bagian belakang angkot. Mengunci kami, tidak bisa kemana-mana. Salah-satu dari mereka berbisik kasar mengancam.

"Keluarkan uang kalian."

Aku terdiam, menelan ludah. Seli pias, memegang lenganku. Ali justeru nyengir lebar, balik bertanya, "Eh, kalian serius mau memalak kami?"

Dua preman itu tentu saja serius. Mereka mengacungkan pisau ke arah kami. Sementara sopir angkot sepertinya tidak tahu apa yang terjadi di belakang, dia sibuk nyelip kesana-kemari di tengah macet.

"Serahkan uang kalian!" Preman itu mendesak.

Ali kali ini tertawa kecil, "Ini benar-benar menarik, setelah tadi menyebalkan di sekolah, sekarang sebuah kejutan. Maksudku, ada ribuan kendaraan umum di kota ini, kalian harus naik angkot ini, lantas menodong Raib dan Seli? Kalian apes sekali."

Aku menyikut Ali, menyuruhnya diam. Si Biang Kerok ini selalu saja santai dalam banyak hal.

"Tapi ini benar loh, Ra. Mereka sial sekali. Bukan maksudku karena kita tidak bawa uang sama sekali. Melainkan mereka tidak tahu sedang menodong siapa." Ali tetap tertawa.

Dua preman itu nampak marah melihat tawa Ali yang menyepelekan, mereka mengacungkan pisau lebih dekat. Hanya lima senti dari wajahku. Seli menjerit ngeri. "Tutup mulutmu, anak ingusan, serahkan uang atau aku lukai temanmu, hah!"

Splash. Aku tidak punya pilihan. Aku telah memegang lengan Seli dan Ali. Tubuh kami menghilang, untuk sesaat splash, kami bertiga telah muncul di belakang sebuah bangunan yang sepi. Aku memutuskan melakukan teknik teleportasi. Darurat. Kami memang dilarang menggunakan kekuatan kami sembarangan, tapi dengan dua pisau mengancam, menghindari keributan bisa dikecualikan.

"Ini tidak seru, Ra!" Ali langsung protes saat kami muncul, "Kamu harusnya mengirim pukulan salju berdentum ke dua preman tadi."

Apanya yang tidak seru, aku melotot. Telat menghilang sedetik, bisa panjang urusan di angkot tadi. Pukulan berdentum. Itu ide buruk. Kami akan jadi tontonan satu kota.

"Dan kamu seharusnya menyambar mereka dengan petir, Seli! Bukan malah ketakutan." Ali sekarang menoleh. Wajah Seli masih pias, berpegangan kepadaku.

Sementara di angkot, dua ratus meter dari lokasi kami sekarang, dua preman itu sedang sibuk meraba-raba kursi dan dinding angkot, tangan mereka menggapai-gapai udara kosong. Wajah mereka bingung. "Coy, kemana mereka?" Temannya bertanya gugup. "Aku tidak tahu. Tadi masih di sana kan, Coy?" "Tidak ada, mereka menghilang.... Jangan-jangan." "Jangan-jangan apa?" Temannya menimpali. "Jangan-jangan mereka mahkluk jejadian." Dua preman itu terdiam, saling tatap, lantas bergegas lompat turun dari angkot. Lari secepat mungkin.

*Novel "BINTANG", Tere Liye

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk para penggemar Tere Liye dan pecinta novel, jangan lupa ya 27 Juni 2017 akan di rilis serentak di toko-toko buku di Indonesia, novel terbaru dari Tere Liye dengan judul 'Bintang'.

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 21 - Kecil Sekali Keluarga Kami

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------


LIMA menit, jarakku cukup jauh dari markas polisi dan bangunan penjara sialan itu.

Motor yang kukemudikan menepi, aku bergegas menghubungi telepon satelit Kadek, tidak sabaran menunggu nada panggil. Lima kali, tujuh kali, sampai habis, tetap tidak diangkat. Aku menelan ludah. Sekali lagi mengulanginya. Tetap tidak diangkat. Astaga. Gumam cemasku mengambang di langit gelap. 

Baiklah, aku loncat ke atas motor, rahangku mengeras, memacu motor secepat yang aku bisa, melesat menuju dermaga modern dekat Sunda Kelapa. Pukul tiga dini hari, jalanan lengang, menyisakan orang-orang yang pulang dari kafe, diskotik, dan tempat hiburan lainnya, selang-seling dengan mobil pickup dan gerobak sayur-mayur yang memenuhi pasar-pasar tradisional, luber hingga ke jalan. 

Aku tidak memedulikan kontras yang kulewati, konsentrasiku ada di tangan, mata, dan kaki.

Dua puluh menit, dengan kecepatan tinggi motorku melintasi gerbang dermaga. Dua petugasnya yang selalu disiplin berjaga, bergegas berdiri, hendak memeriksa, urung setelah melihat wajahku. Mereka melambaikan tangan, membiarkanku lewat.

Aku tidak menghentikan kecepatan melintasi pelataran dermaga yang licin. Belasan kapal pesiar kecil tertambat, bergoyang anggun. Lampu di sepanjang dermaga menerangi dinding luar dan tiang-tinga kapal. Sisanya lengang, hanya debur ombak memukul dermaga. Angin bertiup pelan, bulan sabit menghias langit. Pasifik tertambat paling ujung. Mataku segera membesar melihat kapal itu. Aku berhenti persis di buritan, loncat dari motor, dengan cepat naik ke atas kapal.

“Pak Thom.” Kadek yang lebih dulu menyapaku.

Aku sedikit tersengal, menatap ruang tengah kapal tempat biasa berkumpul. Ada Om Liem, tidur di salah satu sofa, selimutnya berantakan. 

“Di mana Opa?” Aku menyergah.

“Easy, Pak Thom, Opa di kamar. Opa baik-baik saja, sedang beristirahat. Mungkin dia sedang bermimpi indah naik kapal, mengungsi dari negeri Cina puluhan tahun silam.” Kadek menyengir.

Aku mengembuskan napas lega, mengabaikan gurauan Kadek. Astaga, ini kabar terbaik yang kudengar seminggu terakhir, mengalahkan apa pun. Aku menunduk, masih berusaha mengendalikan napas.

“Selepas menelepon Pak Thom, saya memutuskan untuk segera mencari bantuan.” Kadek berbaik hati menjelaskan dan mengambilkan teko air dari kulkas. “Daripada harus ke dermaga yang masih sembilan kilometer, butuh waktu lima belas menit, saya memilih merapat ke salah satu kapal besar yang sedang melintas di perairan Kepulauan Seribu, menekan sirene kapal, menyalakan lampu darurat, meminta perhatian mereka. Setiap kapal besar pastilah membawa obat-obatan.”

Kadek menuangkan air ke dalam gelas. “Tebakan saya benar, Pak Thom, bukan hanya insulin, bahkan di atas kapal itu juga ada dokter yang bertugas. Opa segera mendapat pertolongan.”

Aku menerima gelas air segar dari Kadek, menghabiskannya sekaligus, ikut menyengir lega. “Kau memang selalu bisa diandalkan, Kadek.”

Kadek tertawa kecil. “Bukankah Pak Thom sendiri yang berpesan, saya jangan panik, saya tetap terkendali, saya selalu berpikir jernih. Nah, saya mendapat pencerahan dari pesan itu. Pak Thom lah yang secara tidak langsung menyelamatkan Opa.”

Aku menepuk-nepuk bahu Kadek, menatapnya penuh respek.

“Setelah memberikan pertolongan, dokter kapal itu menyarankan agar kami kembali ke darat segera, Opa butuh istirahat. Setelah saya timbang-timbang, benar juga, itu jauh lebih penting dibanding terus mengambang di laut, menghindar dari kejaran orang seperti perintah Pak Thom sebelumnya. Semoga Pak Thom tidak marah melihat kapal ini merapat di dermaga. Dari tadi aku menelepon nomor Pak Thom untuk memberitahukan, sekaligus khawatir Pak Thom menunggu terlalu lama di dermaga dengan alat suntik insulin, tapi tidak ada nada panggil. Telepon genggam Pak Thom mati? Kehabisan batere?”

“Telepon genggamku diambil orang, Kadek. Diambil maling besar,” aku menjawab sekenanya. “Tentu saja aku tidak keberatan kau kembali merapat, kau selalu mengambil keputusan yang benar.”

Kadek menatapku riang.

“Ngomong-ngomong, kapal besar apa yang memberikan pertolongan? Kapal pesiar Star Cruises?” Aku mengambil teko air di atas mini bar.

Kadek menggeleng, menyeringai. “Bukan, Pak Thom.”

“Kapal kontainer? Atau tanker minyak raksasa?” Aku menebak lagi, sambil mengisi gelas kosong. Itu pastilah kapal besar yang penting hingga punya dokter sendiri.

“Bukan, Pak Thom. Kapal armada tempur angkatan laut. Mereka sedang persiapan latihan perang dua-tiga hari ke depan di Laut Cina Selatan. Dokter militer yang membantu Opa.”

Astaga, aku hampir tersedak.

Kadek menyengir. “Easy, Pak Thom, mereka tidak tahu siapa Opa. Aku karang-karang saja kalau Opa warga negara Singapura yang sedang melaut dan tiba-tiba jatuh sakit. Om Liem membantu dengan menceracau berbahasa Cina. Mereka tidak banyak tanya lagi, hanya dokternya yang pandai berbahasa Inggris, jangan tanya bahasa Cina.”

Aku meletakkan gelas, menggeleng perlahan. Entahlah, hendak tertawa atau menepuk dahi. Kadek ternyata jauh lebih lihai dibanding yang kuduga---atau boleh jadi dia sama seperti Maggie, bertahun-tahun bekerja denganku, jadi ketularan akal bulusku.

Ruangan tengah kapal lengang sejenak.

“Kau sudah kembali, Tommi?” Om Liem menyapa. Dia menggeliat di atas sofa. Selimutnya terjatuh. Dia sepertinya terbangun oleh percakapan kami.

Aku menoleh. “Sudah bangun kau?”

Om Liem mengangguk.

“Kenapa kau tidak tidur di kamar, hah? Bukankah Kadek sudah menyiapkan kamar?”

“Om Liem tidak mau, Pak Thom. Dia sejak tadi duduk-duduk saja di ruang tengah, hingga ketiduran.” Kadek yang menjawa lebih dulu.

“Sama saja, Tommi. Di kamar aku tidak bisa tidur nyenyak, ada banyak yang melintas di kepala orang tua ini. Lebih baik duduk di sini, di ruangan yang luas.” Om Liem menjawab pelan. “Dari mana saja kau? Terlihat kusut sekali? Seperti habis dipukuli banyak orang?”

“Jangan tanya. Setengah jam lalu aku baru kabur dari penjara. Masih beruntung aku tidak memakai seragam tahanan,” aku menjawab sekenanya.

Om Liem menatapku sejenak, lantas tertawa pelan. “Orang tua ini sepertinya lebih menyukaimu waktu kecil, Tommi. Dulu kau selalu pandai melucu dan menyenangkan orang tua.”

Aku tidak menjawab, sudah melangkah menuju kamar, hendak melihat Opa.

“Oh iya, tadi ada kabar dari Ram, dia bilang Tante baik-baik saja, sudah boleh pulang ke rumah. Mungkin berita ini bisa mengurangi sedikit dari banyak urusan yang melintas di kepalamu.” Aku sempat menoleh pada Om Liem, sebelum mendorong pintu kamar.

Om Liem diam sejenak, mencerna kalimatku, lantas mengangguk. “Terima kasih untuk kabarnya, Tommi. Sungguh terima kasih. Ini bahkan bisa mengurangi separuh kecemasanku sepanjang hari.”

Aku tertegun sejenak. Seperti bisa menatap wajah Papa dari wajah Om Liem yang sedang terharu mendengar kabar tentang Tante. Wajah seorang Ayah yang selalu menyayangi anak-anaknya---terlepas dari seberapa jahat dia pada dunia. Wajah orang yang selalu kurindukan sejak usia enam tahun. 

Om Liem menyeka ujung matanya. Aku bergegas menutup pintu kamar.



***



Aku tetap berada di kapal hingga pukul lima pagi.

Aku menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja. “Aku sedang dalam perjalanan menuju kantor, Thom. Jangan tanya aku pulang jam berapa tadi malam. Hei, kau pakai nomor telepon baru? Hampir saja tidak kuangkat, curiga ada polisi atau malah agen FBI mencariku.” Dia mengomel. Aku mengangguk, tidak berkomentar apalagi bertanya, yang paling penting Maggie tidak telanjur menghubungi telepon genggamku yang dikuasai dua orang itu. Maggie baik-baik saja.

“Kau bisa mencari kontak ke beberapa orang, Mag? Dan juga beberapa dokumen tambahan yang kuperlukan.” Aku mulai merinci apa yang harus dia kerjakan.

“Astaga, Thom, aku sedang mengemudi, tidak bisakah kau mengirimkan e-mail? Dan asal kau tahu, aku terpaksa memutar jalan, lewat belakang gedung, jalan protokol ditutup, car free day, alangkah banyak sepeda melintas di hadapanku, dengan wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga, berkeringat. ” Maggie menyahut sebal.

Aku lagi-lagi mengangguk, tidak berkomentar.

“Baik. Akan segera kukirim e-mail, Mag. Terima kasih banyak.” Aku menutup percakapan.

Semburat merah muncul di kaki langit timur. Matahari terbit. Aku duduk sendirian di geladak depan kapal, Kadek berbaik hati menyediakan segelas kopi panas, beserta peralatan kerja yang selalu tersimpan di kapal. Lima menit aku menulis e-mail untuk Maggie, mengklik tombol send.

Masih terlalu pagi. Tetapi beberapa kapal beranjak keluar dari dermaga, penumpangnya melambai. Hari Minggu, ada banyak pemilik kapal yang memutuskan berlayar, meski jarak pendek. Mereka membawa peralatan mancing atau sekadar bekal makan siang, lantas menuju salah satu pulau. Itu sudah lebih dari menyenangkan. Maggie benar, wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga, dan berkeringat.

Aku meraih telepon genggam, teringat sesuatu, menelepon Julia.

Suara Julia terdengar serak, dia sepertinya terbangun oleh teleponku.

“Kau tidur jam berapa semalam?” Aku basa-basi bertanya.

Julia tertawa kecil, menguap. “Kau tahu, Thom, terakhir kali pertanyaan ini kudengar, itu berasal dari seseorang dua tahun lalu. Sebulan setelah itu, kami berpisah.”

Aku ikut tertawa, menatap permukaan laut yang beriak pelan, mengilat oleh cahaya matahari pagi, melanjutkan basa-basi percakapan. “Apa yang terjadi? Dia selingkuh?”

“Tidak, dia tipikal lelaki yang setia. Aku yang bosan, karena setelah itu, dia seperti mendapat inspirasi gila, memutuskan setiap pagi meneleponku, bertanya, kau tidur jam berapa semalam, honey? Apakah tidurmu nyenyak, honey? Mimpi indah? Merusak hidupku dengan menjadi jam beker.”

Kami berdua tertawa.

“Kau sudah mendapatkan jadwal audiensi dengan menteri, Julia?” Aku memotong tawa.
Julia terdengar menggeliat, menggerutu. “Tentu saja.”

“Jam berapa?”

“Astaga, Thom, maksudku, tentu saja kau tidak seperti seseorang itu. Aku tahu kau meneleponku hanya untuk memastikan jadwal yang kauminta, tidak lebih, tidak kurang. Sejak dari London aku sudah tahu, kau jelas bukan lelaki yang romantis. Kalaupun ada jejak romantisme dalam potongan yang amat kecil di kepalamu, segera kau membuangnya jauh-jauh.”

“Fokus, Julia. Jam berapa?” Aku memotong kalimatnya.

“Pukul sebelas nanti siang, Sir. Di kantornya. Puas?” Julia berseru.

Aku tertawa. “Terima kasih, Julia. Dan satu lagi sebelum telepon ini kututup, kau jelas keliru, bukankah kubilang di atas pesawat penerbangan dari London, jika kau tertarik tentangku, kita bisa diskusikan hal itu di lain kesempatan, mungkin sambil makan malam yang nyaman.”

Julia mengeluarkan suara puh pelan.

Aku masih tertawa sambil mengucap salam, memutus percakapan.

Aku melirik jam di layar laptop. Sekarang hampir pukul enam pagi, masih lima jam lagi sebelum pertemuan penting itu. Aku kembali menulis e-mail untuk Maggie, teringat kalau semua data paling mutakhir tentang Bank Semesta tertinggal di rumah peristirahatan Opa, meminta Maggie menyiapkan beberapa salinan di kantor. Aku membutuhkannya. 

Waktuku semakin sempit, hanya 26 jam lagi sebelum Senin pukul 08.00 besok pagi. Selain pertemuan dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan, ada satu bidak superpenting yang harus kuamankan. Aku menyisir rambut dengan jemari. Sebelum sore berganti malam, sebelum rapat komite memutuskan, aku harus sudah memastikan bidak superpenting ini bisa mengintervensi di detik terakhir.

“Kau mau bergabung sarapan dengan kami, Tommi?” 

Aku menoleh. Opa dengan tongkat di ketiak berdiri di pintu menuju geladak, tersenyum.

“Kadek membuat nasi goreng spesial, Tommi. Kau pasti suka. Semakin lama, kupikir masakan Kadek sama lezatnya dengan masakan mamamu dulu.”

Aku balas tersenyum, mengangguk, melipat laptop, bangkit dari kursi.

Apa salahnya sarapan sebentar bersama Opa. Setelah kejadian tadi malam, rasa cemas Opa tidak tertolong. Apa salahnya aku menghabiskan waktu setengah jam untuknya. Besok lusa kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Entah apakah Bank Semesta dan grup bisnis Om Liem hancur lebur, entah apakah pemerintah memutuskan memberikan dana talangan, Om Liem terpaksa menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh sahamnya, setidaknya pagi ini aku punya waktu berharga bersama orang-orang yang juga amat berharga. Sejak Papa dan Mama hangus terbakar bersama rumah kami puluhan tahun silam, hanya Opa dan Tante yang kumiliki. 

Kecil sekali keluarga kami. Itu pun tetap kecil meski sudah menghitung Om Liem.

Aku membantu Opa melangkah menuju dapur, dan segera aroma masakan Kadek tercium lezat.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Jumat, 24 Februari 2017

Doa Untuk Tempe Setengah Jadi

Di Bantul, Jogjakarta ,ada seorang ibu penjual tempe. Biasanya ia pergi ke pasar pada pagi hari untuk menjual tempe. Pagi-pagi ia bergegas pergi ke dapur dan melihat keranjang tempenya. Ketika dibuka, sungguh terkejutnya ia bahwa tempenya belum juga jadi. Lalu ia berpikir, bahwa mana mungkin ia bisa menjual tempe yang belum jadi.

Lalu dia menutup lagi dan berdoa kepada Tuhan, berharap bahwa ada mujizat dan tempe akan berubah. Setelah lima menit berdoa, dia membuka keranjang tempe lagi, dan harapannya pun belum terwujud. Maka ia memutuskan untuk pergi ke pasar. Sepanjang jalan ia berdoa dan berharap bahwa tempenya akan berubah. Ketika sampai di pasar dan membuka keranjang tempe, ibu tersebut pun sangat kecewa karena tempenya belum juga jadi. Dengan perasaan sedih, dia pun menjejerkan tempe yang akan dijualnya. Sekekali ia melihat penjual tempe lain yang sudah hampir habis dagangannya.

Dengan sedih dan kecewa, lalu ia tertunduk lemas. Tiba-tiba seorang ibu tua menepuk bahunya dari belakang dan berkata : “ Bu, apakah menjual tempe setengah jadi? Daritadi saya sudah mencari keliling pasar, tetapi tidak ada”. Dengan terkejut dan terheran-heran, lalu dia melihat tempe yang di jejerkannya dan membuka daunnya, ternyata tempenya belum jadi juga. Dengan semangat dia berkata kepada ibu tua tersebut : “ Iya bu, saya jual tempe setengah jadi”.

Terkadang mungkin Anda seperti ibu penjual tempe tersebut. Memaksa Tuhan untuk mejawab doa seperti apa yang Anda inginkan. Namun, tahukah Anda bahwa Dia mengetahui apa yang terbaik bagi Anda. Tetaplah berdoa namun, akhirilah doa Anda dengan kata-kata berikut ini:? ? Jadilah menurut kehendakMu”. Dengan demikian, apapun jawaban Tuhan, Anda dapat menerimanya dengan sukacita, karena rancanganNya begitu indah dalam hidup Anda.

SEBUAH FILOSOFI MATEMATIKA Tentang Plush Dan Min ('+' & ' - ')

Pernah nggak Anda berpikir...
1. Mengapa PLUS di kali PLUS hasilnya PLUS?
2. Mengapa MINUS di kali PLUS atau sebaliknya
PLUS di kali MINUS hasilnya MINUS?
3. Mengapa MINUS di kali MINUS hasilnya PLUS?

Hikmahnya adalah:
(+) PLUS = BENAR
(-) MINUS = SALAH

1. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu hal yang BENAR adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
+ x + = +

2. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu yang SALAH, atau sebaliknya mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang BENAR adalah suatu tindakan yang SALAH.
Rumus matematikanya :
+ x - = -
- x + = -

3. Mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang SALAH adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
- x - = +

KESIMPULAN:
Pelajaran matematika ternyata sarat makna, yang bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup. :)

Selamat beraktivitas di hari Senin yang Luar Biasa!

Apakah Anda Bahagia?

Menurut psikolog Jessamy Hibberd, hal-hal kecil bisa berdampak besar dan membuat hati kita bahagia. Seperti bertemu teman, tertawa, bersyukur, dan berbagi. Inilah hal-hal kecil yang ia sarankan.

Btw, negara mana yang paling berbahagia? Survei World Happiness Report merilis, ternyata Denmark berada di peringkat pertama sebagai negara paling berbahagia di dunia. Sementara, Burundi, berada di posisi paling buncit.

Laporan itu juga memuat negara-negara yang memiliki kesenjangan sosial yang lebih sedikit ternyata warganya hidup jauh lebih bahagia. Swiss, Islandia, Norwegia dan Finlandia, layaknya Denmark, adalah negara-negara yang paling baik dalam jaminan keamanan sosial. Dan mereka adalah lima besar sebagai negara paling berbahagia.

Posisi Amerika Serikat berada di peringkat ke-13. Nomor paling buncit dari 156 adalah Burundi, bukan Suriah. Burundi mengalami banyak kekerasan serta gonjang-ganjing politik. Bahkan negara itu dianggap paling tak bahagia dibanding Suriah.

Indonesia berada dalam tingkat kebahagiaan di posisi 79. Rusia di peringkat 56 dan Jepang di peringkat 53. Laporan itu dirilis UN's Sustainable Development Solutions Network, dari Gallup World Poll yang mensurvei 1.000 orang dari setiap negara. Proses tersebut dihelat selama 3 tahun berturut turut.

Mungkin Anda bertanya, “Bisakah bahagia, sementara kita belum punya apa-apa?” Ternyata bisa. Penjelasan berikut ini sangat penting. Saya berharap Anda mau membacanya sampai tuntas dan mau men-share-nya. 

Bukan apa-apa, agar Anda dan keluarga Anda bisa bahagia, selalu, tanpa ketergantungan terhadap uang atau apapun. Apalagi bergantung pada pemerintah. Lantas, bagaimana caranya bahagia, padahal kita belum punya apa-apa? Percayalah, ini soal keputusan, bukan soal kepemilikan.

"Saya memutuskan untuk bahagia," Batinkan seperti itu. Sekali lagi percayalah, ini soal keputusan. Kalau Anda menganggap 'punya rumah, baru bisa bahagia' maka anggapan itu cuma bertahan 12 bulan sampai 24 bulan. Nggak lama. Tapi kalau Anda memutuskan untuk bahagia entah punya atau belum punya, maka keputusan itu akan berdampak lebih lama.

Kuncinya, jangan pernah menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang bersifat eksternal seperti rumah, mobil, dukungan masyarakat, kebijakan pemerintah, dst. Hendaknya digantungkan pada hal-hal yang bersifat internal seperti pikiran, perasaan, dan keputusan.

Be happy! Sekian dari saya, Ippho Santosa.