------------ Selamat Membaca -------------------
USIAKU dua puluh empat, kembali dari sekolah bisnis, Opa sudah menunggu di bandara.
“Kita harus merayakan ini, Tommi.” Tubuh kurus tinggi Opa memelukku.
Aku balas memeluknya, bertanya ragu-ragu, “Merayakan?”
Opa mengangguk, menyikut pinggangku. “Tenang saja. Om Liem tidak ikut
serta, dia tahu diri. Hanya berdua kita berlayar menapaktilasi
perjalanan Opa puluhan tahun lalu. Dengan kecepatan 30 knot per jam,
setidaknya butuh satu-dua minggu, akan menyenangkan, bukan?”
Aku
ikut tertawa---untuk kalimat Om Liem tidak ikut. Sejak dulu Opa selalu
ingin menghabiskan waktu bersamaku, berusaha menebus hari-hari di
sekolah berasrama. Aku mengangguk, tidak ada salahnya. Sudah lebih dari
belasan tahun aku tidak pernah libur panjang sungguhan, biasanya segera
kembali ke buku-buku, membaca banyak hal, belajar banyak hal---bahkan di
hari libur.
Kami melepas jangkar kapal pesiar. Ada dua orang
pembantu Opa yang ikut, dua-duanya kelasi, bukan nakhoda kapal sebaik
Kadek, tapi mereka jago masak dan berguna menyelesaikan pernak-pernik
pekerjaan di kapal.
“Belum ada namanya?” Aku memukul lambung kapal
yang bergerak cepat meninggalkan siluet gedung tinggi kota Jakarta yang
terbungkus kabut pagi.
Opa tertawa. “Ini kapalmu, Tommi. Kau yang harus memberinya nama.”
Aku memperbaiki anak rambut. Angin laut menerpa wajah. Berarti sudah
dua tahun kapal ini belum mengalami prosesi melempar botol sejak
dikirimkan dari galangan kapal di Eropa.
“Aku tidak punya ide,” aku menjawab pelan.
“Astaga? Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, memberi nama kapal
saja kau tidak punya ide?” Opa jail menyipitkan mata. “Kenapa tidak kau
beri nama ‘Thomas’, atau nama papamu, ‘Edward’?”
Aku menggeleng perlahan.
Ruang kemudi kapal lengang sejenak.
Opa ikut menggeleng pelan. “Seharusnya kita tidak menyebut nama papamu dalam perjalanan ini. Maafkan aku yang terlalu riang.”
“Tidak masalah, Opa.” Aku menepuk bahu Opa. “Nanti akan kupikirkan nama
yang baik. Sesuatu yang istimewa. Oh iya, aku belum bilang terima kasih
sejak dua tahun lalu, bukan? Terima kasih atas hadiah kapal yang hebat
ini. Opa selalu nomor satu.”
Wajah Opa kembali riang.
Menjelang
siang, aku membantu dua kelasi memasang layar. Ditambah angin kencang,
kekuatan mesin ribuan horsepower, kapal melaju cepat membelah ombak
hingga 34 knot, terus ke utara, kecepatan penuh menuju perairan Laut
Cina Selatan. Logistik penuh, peralatan navigasi canggih, dan tentu saja
kapal yang tangguh. Ini perjalanan yang menyenangkan.
Jika laut
sedang tenang, kami makan malam di geladak, beratapkan bintang
gemintang. Jika laut sedikit menggila, perkiraan cuaca yang kami terima
di layar kapal memberikan peringatan, aku langsung memutar kemudi menuju
kota terdekat, mampir di Krabi Island, Thailand, misalnya.
“Hebat
sekali.” Opa mengusap dahi, menatap keluar kaca jendela yang basah.
Hujan deras, angin kencang, tapi kapal kami sudah tertambat kokoh di
salah satu resor di perairan Krabi.
Aku menoleh, duduk malas menatap lautan yang gelap.
“Kami dulu bahkan tidak tahu apakah akan badai atau tidak. Hanya
mengandalkan naluri nelayan tua di kapal. Sekarang kita bahkan bisa tahu
enam jam sebelumnya.”
Aku mengangguk, ternyata “hebat” itu
maksudnya. Sambil bersiap memperbaiki posisi duduk, Opa rasa-rasanya
akan kembali mengulang cerita lamanya. Aku tidak pernah keberatan
memasang wajah takzim mendengarkan.
Tiga hari kemudian, meskipun
terhambat badai kecil di Krabi Island, kami tiba di pelabuhan kota kecil
daratan Cina tepat waktu. Opa turun dari kapal dengan menumpang sekoci
kecil, dan dia dengan wajah terharu menunjukkan semua potongan masa lalu
yang dia ingat.
“Kita bisa terus melalui jalan setapak itu, Tommi.
Dulu kami sembunyi-sembunyi melintasinya, pagi buta.” Opa menunjuk
jalan yang ramai oleh orang-orang setempat berdagang. “Kau berjalan
terus satu jam, nanti kau tiba di stasiun tua, lantas menumpang kereta.
Dua hari satu malam, kau akan tiba di Beijing, melewati kampung halaman
leluhur kita. Kau mau terus hingga ke sana?”
Aku tertawa, menggeleng. “Itu berlebihan, Opa.”
Opa ikut tertawa, mengangguk.
Setelah berjam-jam puas menghabiskan waktu mengunjungi setiap jengkal
kenangan masa lalu, kami berlayar pulang ke arah selatan, melewati rute
yang dulu dilakukan Opa.
“Setelah semua sekolah itu, kau akan ke
mana, Tommi?” Opa mengajakku bicara, di malam kesekian. Purnama
menghiasi angkasa, terlihat khidmat dari atas kapal yang terus melaju.
“Bekerja seperti orang kebanyakan.” Aku belum menangkap arah pembicaraan, asyik menatap layar navigasi.
“Maksudku, kau akan bekerja di mana, Tommi? Kau tidak tertarik bekerja di perusahaan keluarga?”
Aku menggeleng. Opa suda tahu jawabannya, buat apa dia bertanya?
“Kau tidak harus bekerja di perusahaan yang diurus Om Liem, Tommi. Kalian bisa mengurus perusahaan yang berbeda.”
Aku tetap menggeleng.
“Kalian sudah lama sekali tidak bertemu, bahkan saling tegur sapa pun
tidak.” Opa menghela napas, menyerah. “Kalau kau bekerja di perusahaan
orang lain, untuk anak muda secerdasmu, boleh jadi kau malah membesarkan
perusahaan pesaing keluarga, Tommi.”
“Aku akan membuka kantor sendiri.”
“Oh, itu lebih baik.” Opa senang mendengarnya.
Aku tertawa pelan. “Lebih buruk, Opa. Aku akan membuka kantor
konsultan profesional. Nah, boleh jadi aku memberikan nasihat keuangan
kepada perusahaan pesaing keluarga.”
Opa menatapku sebentar, lantas
ikut tertawa. “Kalau itu sudah menjadi rencanamu, Opa tidak akan
memakasa, Tommi. Tapi sekali-dua, itu pun jika kau bersedia, bolehlah
memberikan nasihat yang baik pada kami, terutama pada ommu. Sejak
kembali mengurus bisnis, dia seperti orang kesetanan, melakukan apa
saja, penuh ambisi.”
Aku menyeringai. “Tidak ada yang bisa menasihatinya, Opa. Dulu tidak, sekaranng juga tidak.”
Opa manggut-manggut setuju, menatap lurus ke lautan yang tenang sekali,
bagai tak beriak. Pantulan purnama terlihat elok di permukaan laut.
Kapal terus melaju stabil, lengang sejenak. Ini hari kesebelas
perjalanan kami. Sudah setengah jalan melewati rute pengungsian Opa
dulu.
“Aku senang kau tidak tumbuh ambisius seperti om dan papamu
dulu, Tommi. Kupikir kau jauh lebih arif, kau lebih mirip denganku.” Opa
memecah senyap suara mesin dan baling-baling kapal yang terdengar
menderum samar dari balik dinding kedap suara.
“Kejadian menyakitkan
selalu mendidik kita menjadi lebih arif. Kau dengan kematian papa dan
mamamu. Dan aku, waktu aku masih muda dulu, menumpang kapal kayu bocor
itu, mengungsi dari perang saudara, banyak kebijaksanaan hidup yang
kupelajari.”
Aku menyengir, ini untuk kesekian kali Opa mulai bertingkah seperti kaset rusak.
“Aku sungguh tidak takut mati waktu itu, Tommi.” Opa terus bercerita, tidak melihat seringai wajahku.
“Badai, kehabisan bekal, minum air asin, ditembaki kapal Belanda, itu
semua makanan sehari-hari. Termasuk cerita-cerita seram tentang legenda
lautan, itu tidak mempan.” Opa menghela napas sejenak. “Hingga suatu
saat nelayan senior bercerita. Astaga, itu cerita paling seram yang
kudengar, membayangkannya, bahkan setelah berpuluh-puluh tahun aku tetap
merinding.”
Lengang lagi sejenak. Aku terus memegang kemudi kapal, menatap lurus.
Opa yang menoleh, menatapku bingung. “Kau sepertinya tidak sepenasaran
seperti dua tahun lalu, Tommi? Bukankah dulu kau mendesak ingin tahu?”
Aku tertawa, menggeleng.
Opa terlihat kecewa. “Kau sungguh tidak ingin tahu lagi, Tommi? Padahal
aku sudah sengaja benar membuat variasi ini agar kau tidak bosan
mendengar cerita masa laluku yang itu-itu saja.”
Aku kembali
menggeleng, menatapnya penuh penghargaan. “Bukan itu masalahnya, Opa.
Aku selalu senang mendengarnya, itu selalu membuatku paham masa lalu
keluarga kita, tahu diri. Tetapi soal kisah seram nelayan itu, aku sudah
tahu.”
“Kau tahu? Dari mana kau tahu?”
Aku menyengir. “Dua
tahun sekolah di luar, ada banyak yang ingin kupelajari. Termasuk PR
itu, aku mencari tahu ke mana-mana. Buku-buku, berita, apa saja. Lama
sekali aku menemukan penjelasannya. Hingga mendatangi perkampungan
nelayan di pesisir, ratusan kilometer dari sekolah bisnis. Satu-dua
nelayan tua di sana masih ingat dengan cerita itu.”
Opa terdiam, menyelidik, memastikan apakah aku sungguh-sungguh atau pura-pura saja.
“Lihat, laut tenang sekali. Samudra luas yang bernama Pasifik,
‘Kedamaian’. Semua nelayan amatir, pelaut pemula, selalu menilai lautan
setenang dan sedamai ini berkah. Aku tahu cerita itu, Opa. Dan aku tahu
itu bukan sekadar legenda, meski tidak ada penjelasannya hingga hari
ini. Aku membuka tumpukan kliping berita, berpuluh-puluh kapal hilang,
bahkan bukan hanya yang mengapung di lautan, yang terbang di atas juga
hilang, belasan pesawat tempur, belasan pesawat komersial. Aku tahu.”
Opa menelan ludah. Ruang kemudi lengang sejenak.
“Puluhan tahun silam, setelah mendengar cerita itu, Opa takut sekali
kalau perahu kayu yang tua dan bocor itu tersesat ke sana, bukan?
Wilayah paling misterius di Samudra Pasifik. Cemas kalau kapal bukannya
menuju tanah terjanjikan di arah selatan, malah bergerak tidak sengaja
ke timur, masuk dalam perangkap tenangnya permukaan samudra. Hilang
dalam catatan sejarah. Aku tahu, Opa. Tetapi dengan sistem navigasi
hebat masa kini, tidak ada nelayan, nakhoda kapal, atau pilot pesawat
sekalipun yang cukup bodoh melewati wilayah itu.” Aku menunjuk layar
kemudi, tertawa pelan. “Lihat, kita ribuan kilometer dari sana. Terus
mengarah ke selatan, jadi seratus persen aman.”
Opa menghela napas. “Ternyata kau sudah tahu, Tommi.”
Aku mengangguk.
“Baiklah, aku akan beristirahat. Sudah larut malam.”
Aku tersenyum, Opa beranjak keluar.
“Satu lagi, Tommi.” Opa sempat menoleh sebelum sempurna keluar. “Kau
tidak seharusnya meremehkan cerita itu walaupun kapal ini dilengkapi
sistem navigasi hebat. Lautan tetaplah lautan.”
“Yes, Sir!” Aku menaruh tangan di kening.
Opa menutup pintu.
Itu pelayaran pertamaku. Sejak hari itu aku memutuskan memberi nama
Pasifik pada kapal pesiar besar hadiah Opa. Kadek bergabung lima tahun
kemudian. Aku banyak sekali menghabiskan waktu di kapal ini. Dalam
banyak hal, masa-masa pentingku ada di kapal ini.
Belasan tahun
kemudian, seperti yang kuduga, kapal ini juga tetap menjadi saksi hebat
hidupku. Pertempuran pertama yang kulakukan atas nama masa lalu.
***
Inilah pertempuran pertama itu.
Persis setelah penjaga gerbang dermaga menelepon, aku meneriaki Opa dan
Om Liem agar berlindung di kamar, menyuruh mereka tiarap. Aku terus
berlarian menuju ruang kemudi. Kadek sudah lompat ke arah buritan.
Terlambat. Kadek baru setengah jalan melepas ikatan tali-temali kapal,
mobil taktis polisi sudah memasuki dermaga---petugas gerbang tidak kuasa
menahan mereka lebih lama lagi. Aku yang sudah berdiri di belakang
kemudi kapal, bersiap menekan pedal gas sekencang mungkin jika ikatan
kapal telah terlepas, melihat belasan polisi berlompatan dari mobil.
“Jangan biarkan mereka lolos!” Komandan mereka berteriak kencang, merobek pagi yang tenang.
Senjata-senjata teracung ke depan, mereka bergerak hati-hati mendekati kapal. Posisi mereka tinggal belasan meter dari buritan.
“Berhenti atau kami tembak!” Komandan menyambar toa, berteriak.
Kadek tidak peduli, dia terus melepas tali.
Tidak akan sempat, aku mengutuk dalam hati. Berpikir cepat, lantas
mengangkat Kalashnikova yang sempat kuambil di kamar sebelum berlari
menyalakan mesin. Aku memutuskan menarik pelatuk senjata sebelum mereka
menembak. AK-47 itu teracung sempurna ke rombongan polisi yang siap
menyergap.
“Berlindung!” Salah satu anggota polisi yang melihatnya berteriak kalap.
Belum habis gema teriakannya, senjata serbu yang kudekap telah
memuntahkan peluru dengan kecepatan hingga 600 butir/menit, membuat
lantai dermaga seperti ditimpa gerimis, semen lantai merekah,
berhamburan bersama kelotak peluru.
Belasan polisi itu kalang kabut
mencari posisi berlindung, kembali ke belakang mobil taktis. Mereka
sepertinya tidak menduga akan menerima sambutan semeriah ini. Komandan
polisi berteriak serak, meneriaki anak buahnya. “Tembak kapal itu!
Habisi mereka!”
Aku mendengus. Dasar bodoh, aku sama sekali tidak
mengincar mereka, aku hanya menyuruh mereka mundur, memberikan
kesempatan pada Kadek menyelesaikan tugas.
Jangan lakukan. Rahangku
mengeras. AK-47 yang kupegang dengan cepat menembaki salah satu sisi
mobil. Salah satu dari polisi yang sudah dalam posisi berlindung
berusaha membalas tembakan. Satu lubang berhasil kututup. Dua lubang
lain muncul. Mereka mulai balas menembaki kapal. Dua, tiga peluru
menghantam kaca ruang kemudi, berhamburan, aku menunduk, menghindari
pecahan kaca. Lebih banyak lagi peluru yang mengarah ke buritan, membuat
pekerjaan Kadek terhambat.
Kami kalah jumlah. Aku mengepalkan
tinju. Polisi sialan ini sungguh tidak menyadari, kalau aku berniat
jahat pada mereka, sejak tadi aku bisa menembaki tangki bensin mobil
taktis, dan dalam hitungan detik, mereka yang berlindung di balik mobil
menjadi kepiting bakar bersamaan dengan meledaknya mobil. Tetapi itu
tidak bisa kulakukan. Aku menggeram berpikir keras, aku harus bergerak
cepat.
“Naik ke ruang kemudi, Kadek!” aku berteriak.
Kadek yang masih tiarap di buritan mendongak, tidak mengerti.
“Bergegas!” aku menyuruh, “akan kulindungai kau.”
Senapanku kembali terarah ke mobil taktis, secara spartan menembaki
setiap jengkal kemungkinan ada moncong senjata terarah pada buritan
kapal.
Kadek bangkit, berlari cepat menuju ruang kemudi, desing
peluru balasan menerpa anak tangga, membuat dinding-dinding kapal
merekah.
“Pegang kemudinya!” aku berseru, tanganku masih terus menarik pelatuk senjata.
Kadek membungkuk, memegang kemudi.
Aku mengarahkan laras panjang AK-47 ke arah bibir dermaga, menembaki
tiang tempat kapal tertambat. Dua, enam, sepuluh peluru menghantamnya.
Tiang beton itu roboh. Ikatan tali-temali terburai lepas.
Kadek yang
mengerti apa yang kurencanakan, segera menekan pedal gas bahkan sebelum
tiang beton itu sempurna roboh, dan Pasifik segera menderum kencang,
meninggalkan dermaga.
Kami kabur di bawah rentetan suara tembakan polisi---yang semakin lama semakin samar.
Setengah menit, kami sudah jauh. Aku menyeka pelipis, melemparkan senjata ke lantai ruang kemudi.
“Kau baik-baik saja?”
Kadek tertawa kecil. “Ini seru, Pak Thom. Aku baik-baik saja.”
Aku menyeringai. “Kita berlayar meninggalkan Jakarta, Kadek. Kauarahkan
kapal ini ke Manila, Filipina, jaga jarak kau dengan pesisir pantai
seaman mungkin. Aku akan memeriksa Opa dan Om Liem di bawah, termasuk
memeriksa kapal. Jika semua baik-baik saja, kauantar aku merapat ke
salah satu pulau wisata yang kita lewati. Aku akan naik kapal lain
kembali ke Jakarta.”
“Siap, Komandan.” Kadek memasang gerakan hormat militer.
Aku sudah bergegas menuruni anak tangga.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.