Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
“KAU gila! Hampir sebagian dari kita memang datang ke klub masih dengan pakaian rapi dan dasi langsung dari tempat kerja, tapi tidak ada yang datang kemari dengan tas bagasi, langsung dari London.” Theo, teman dekatku, orang yang pertama kali mengenalkanku dengan klub, menyergah.
“Aku tidak punya pilihan, Theo. Jadwal konferensi itu sudah disusun
sejak sebulan lalu, juga jadwal sialan ini. Aku harus menunaikan
keduanya sekaligus.” Aku melepas kemeja dengan cepat, menarik sembarang
kaus lengan pendek dari koper yang kubawa sejak keluar dari hotel
konferensi.
“Kau sudah istirahat? Di pesawat misalnya.” Theo melemparkan sepasang sarung tinju.
Aku tertawa. “Bahkan di langit masih saja ada yang menggangguku, Theo.
Ada wawancara. Dan sialan, seharusnya aku sudah sampai di sini dua jam
lalu, tetapi petugas imigrasi bandara menahanku.”
“Petugas imigrasi?”
“Siapa lagi? Pemeriksaan rutin mereka bilang.”
“Mana ada pemeriksaan rutin untuk WNI, kecuali kau tersangka kasus?”
“Mana aku tahu. Dua jam yang sia-sia.” Aku mendengus kesal.
Theo menggeleng prihatin, menatapku cemas. “Dengan semua kesibukan ini,
kau tidak akan punya kesempatan, Thomas. Aku dengar, Rudi si penantang
bahkan sengaja mengambil cuti tiga hari untuk menghadapi pertarungan
ini. Tadi sempat kulihat wajahnya sangar, dan lihatlah kau, dengan wajah
lelah, pupil mengecil. Kau bisa meminta penundaan waktu, itu hak yang
ditantang.”
Aku menggeleng, tidak ada penundaan, semua anggota klub
menunggu pertarungan ini. Bahkan ruangan pertarungan belum pernah
dipenuhi penonton seperti malam ini. Suara dan teriakan antusias mereka
terdengar hingga ruang ganti tempatku sekarang bersiap-siap. Aku masih
punya waktu setengah jam, di sana masih bertarung dua anggota klub lain,
saling menjual pukulan.
“Selamat malam, Thomas.” Seseorang masuk ke ruang ganti, menepuk lemari baju, tertawa lebar.
Aku dan Theo menoleh.
“Kupikir kau tidak akan datang. Terlalu takut menghadapi penantang paling besarmu, mungkin.”
Aku tidak menjawab. Theo mengacungkan tangannya. “Kau tidak boleh berada di sini, Randy.”
“Ayolah, aku hanya menyapa salah satu petarung terbaik klub.” Randy,
salah satu anggota senior klub, masih tertawa lebar. “Beruntungnya malam
ini aku tidak meletakkan uang taruhan pada kau, Thomas. Aku tidak punya
ide akan bertahan berapa ronde kau dengan tampang kuyu seperti ini. Kau
baru pulang dari London, bukan?”
Gerahamku mengeras, tidak balas berkomentar.
“Ngomong-ngomong, berapa lama kau tertahan di bandara? Dua jam?”
Gerakan tanganku yang memastikan sarung tinju telah terpasang sempurna
terhenti, aku menoleh, berpikir cepat, berseru galak. “Dari mana kau
tahu aku tertahan di sana dua jam?”
Randy terkekeh. “Seharusnya aku
menahan kau lebih lama lagi, Sobat. Tiga-empat jam misalnya, tetapi
kalah WO membuat uang taruhan batal, dan itu jelas tidak lebih seru
dibandingkan melihat Thomas yang hebat tersungkur di lantai dengan wajah
berdarah-darah.”
Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak
memukul Randy---sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna
mencengkeram. “Dasar bedebah, ternyata kau yang sengaja menghambatku di
loket imigrasi.”
Theo lebih dulu menahanku, berbisik. “Simpan pukulanmu untuk Rudi. Jangan sia-siakan.”
Aku tersengal, berusaha mengendalikan diri, tentu saja urusan ini bisa
dimengerti. Randy adalah pejabat tinggi di kantor imigrasi. Dia punya
kekuasaan untuk melakukannya.
“Kenapa kau harus marah, Thom? Semua sah dan boleh-boleh saja dalam pertarungan, bukan?”
“Tutup mulutmu!” Aku berseru marah.
Randy justru kembali tertawa ringan.
Suara teriakan di ruangan pertarungan terdengar kencang hingga ruang
ganti. Sorakan-sorakan itu menyuruh seseorang bangkit kembali,
sepertinya ada salah satu petarung yang terkena pukulan telak.
Tiga
tahun lalu, saat pertama kali Theo mengajakku pergi ke “klub”, aku hanya
menggeleng malas. Itu bukan kebiasaanku, aku tidak suka menghabiskan
waktu dengan nongkrong, minum, mendengar musik, melirik-lirik setelah
pulang kerja. Theo santai mengangkat bahu, bilang itu juga bukan
kebiasaannya. “Ini klub yang berbeda, Thom. Kau pasti suka.” Maka
setengah terpaksa, daripada bosan menatap jalanan macet dari balik
jendela tebal ruangan kantorku, aku ikut.
Menakjubkan, belasan
tahun tinggal di Jakarta, aku tidak pernah tahu ternyata kota ini punya
“klub bertarung” seperti yang kusaksikan di film terkenal itu. Theo
mengajakku ke salah satu gedung perkantoran, di lantai enam, dengan
akses lift privat langsung ke sana, bukan partisi ruangan kantor, meja
penerima tamu, dan sebagainya yang kutemukan, melainkan ruangan luas
dengan lingkaran merah mencolok di tengahnya. Beberapa anggota klub
sedang berseru-seru, menyemangati. Wajah-wajah tegang, wajah-wajah
semangat menonton dua orang yang saling bertinju persis di lingkaran
merah.
Aku menelan ludah. Theo benar, aku pasti suka. Ini sungguh
keren, klub yang berbeda. Theo membiarkanku terpesona. Dia sudah asyik
menyapa anggota klub lain, sambil melambai memesan dua minuman ringan
untuk kami.
“Ini klub tertutup dan rahasia, Thom. Tidak banyak yang
tahu. Anggotanya hanya boleh mengajak teman yang dia percaya kemari. Kau
beruntung punya teman Theo, salah satu penggagas awal klub ini. Namamu
bersih dan terjamin.” Itu penjelasan Randy---dulu dia masih ramah
padaku. “Kami berkumpul tiap akhir minggu, dengan jadwal sama seperti
malam ini, menonton pertarungan. Itu di luar latihan setiap hari buat
siapa saja yang mau datang. Lumayanlah mengusir penat setelah pulang
kerja, apalagi jika itu jadwal petaruganmu, itu sungguh refreshing yang
hebat, Sobat.”
Aku mengangguk, bersepakat---dulu aku masih sering
sependapat dengan Randy, melihat dua petarung saling pukul, menghindar,
darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah membakar seluruh
penat, apalagi bertarung langsung, itu memicu adrenalin berkali-kali
lipat.
“Tidak ada yang peduli latar belakangmu siapa, Thom. Itu
aturan main klub.” Theo berbisik, kami sudah berdiri di pinggir
lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang berteriak
sampai serak menyemangati. “Randy bekerja di kantor imigrasi. Kudengar
dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi kepala imigrasi bandara.
Erik, kau lihat di sana, dia manajer senior di bank besar.”
Aku
mengumpat dalam hati, tentu saja aku kenal Erik, baru tadi pagi kami
rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup jasa konsultansi yang
dibutuhkan corporate bank mereka.
“Rudi, nah, yang sedang sangar
bertarung adalah petugas penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku
tidak tahu persis, tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda,
karyawan, dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha.
Itu yang berdiri di pojok bersama teman-temannya adalah anak salah satu
petinggi partai. Di sini berkumpul orang-orang yang menyukai tinju. Di
luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau, lupakan. Meski
sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu satu sama lain.”
Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.
“Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide. Kami bertanding
tanpa jadwal. Anggota klub yang mau bertarung tinggal menuju lingkaran
merah, menantang siapa saja yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan
bawahan, atau mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu
seru, satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa berbohong pada
istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo tertawa. “Semakin ke
sini, kami membayar pelatih profesional, membuat jadwal, melengkapi
ruang ganti, bartender, dan seluruh keperluan seperti sasana tinju. Dan
anggota klub bertambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak
orang yang paling dipercaya, serta direkomendasikan anggota lama.
Kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cukup banyak
untuk membuat kau menunggu dua bulan hingga jadwal bertarung kau tiba.
Tapi itu bukan masalah. Lebih banyak yang menjadi anggota klub hanya
untuk menonton pertarungan, bertaruh, dan bersenang-senang. Atau sekadar
mencari tempat memukuli sansak, latihan.”
Ruangan klub dipenuhi
tepuk tangan, seruan-seruan salut. Kemeja dan dasi penonton kusut karena
kesenangan. Di tengah lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya
tersungkur. Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, “Dia
petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantanganya.”
Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat. Dia sudah membantu
lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling peluk. “Satu-dua
pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Tetapi ini adalah klub dengan
respek di atas segalanya. Kita hanya bermusuhan di dalam lingkaran
merah, di luar itu semua anggota klub adalah teman baik. Semua aktivitas
pertarungan dirahasiakan, bahkan besok lusa kalau kau bertemu dengan
anggota klub di manalah, tidak akan ada yang membahas kejadian semalam.”
Aku mengangguk, masih tercengang dengan banyak hal. Saat Theo
mengajakku pulang pukul dua belas malam, pertarungan terakhir sudah
selesai, aku memutuskan menjadi anggota klub.
“Selamat bergabung,
Thom. Kalau kau mau, minggu depan kami bisa menjadwalkan pertarungan
eksibisi. Kau mau?” Randy yang menerima kartu kredit pendaftaranku
mengedipkan mata.
Aku bergegas menggeleng. Itu ide buruk.
“Baiklah, minggu depan, pertarungan kedua. Tiga ronde, masing-masing
lima menit, melawan, eh, Erik. Ya, Erik, dia sudah sejak sebulan lalu
menuntut jadwal bertarung. Nah, kau harus bersiap-siap.” Randy tidak
peduli, dia tertawa lebar.
Itu kejadian tiga tahun lalu. Dan dengan
segera aku menjadi bagian “klub bertarung”. Adalah Erik lawan pertamaku.
Kalian bayangkan, seseorang yang tidak pernah bertinju, tidak pernah
menguasai teknik bela diri apa pun, memasuki lingkaran merah di bawah
tatapan dan seruan penonton. Aku gugup, meski Theo sudah memberikan
kursus selama tiga sesi, setiap pulang kerja, itu tidak cukup. Erik
membuat pelipisku robek, berdarah. Dia membuatku tersungkur di ronde
ketiga, persis saat lonceng berdentang.
“Anggap saja luka kau itu
sebagai ganti rapat tadi siang yang menyebalkan, Thom. Kau seharusnya
menyetujui presentasiku, bukan membantainya.” Erik menyeringai,
membantuku berdiri.
Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku, dihabisi pukulan terbaik Erik.
“Ini hebat, Sobat. Untuk orang yang baru pertama kali bergabung dan
langsung bertarung, kau membuat rekor.” Randy tertawa senang, membantu
melepas sarung tinjuku, memberikan minuman segar. “Kau orang pertama
yang bertahan hingga ronde ketiga.”
Theo hanya menyengir, menatap
wajah lebamku. Sedangkan belasan anggota klub lainnya menepuk-nepuk
bahu, bilang selamat bergabung, menjulurkan tangan, berkenalan, memuji
pertarungan seru barusan.
Terlepas dari kondisiku yang babak belur.
Ini sungguh hebat. Aku tidak pernah merasakan antusiasme, semangat,
tegang, atau apalah menyebutnya saat bertarung, saat mengirim pukulan,
dan saat menerima pukulan bertubi-tubi. Rasa-rasanya seluruh tubuhku
meledak oleh ekstase kesenangan. Sejak malam itu, pertarungan pertamaku,
aku memutuskan menjadi petarung. Tiga tahun berlalu, lebih dari belasan
kali aku menghadapi anggota klub lain, dan hanya itulah pertama kali
dan untuk terakhir kali aku tersungkur, sisanya jika tidak menang, kami
sama-sama masih berdiri gagah hingga lonceng bel ronde terakhir
berbunyi.
Aku tumbuh menjadi petarung hebat. Aku membalas Erik di
pertarungan setahun kemudian, bahkan aku membuat Randy tersungkur tiga
bulan lalu. Satu-satunya petarung klub yang tidak pernah kukalahkan
adalah Rudi, dua kali kami bertarung, dua kali pula berakhir seri.
“Jadwal kau sekarang, Thom.” Seseorang memukul pintu ruang ganti.
Membuat wajah kesalku, wajah tenang Theo, dan wajah menyebalkan Randy menoleh.
“Bergegas, Thom. Mereka sudah tidak sabaran menunggu pertarungan ini
sejak tadi. Satu-dua malah sudah di klub sejak pukul empat sore.”
Theo yang mengangguk, bilang segera menuju lingkaran merah.
“Kau akan tersungkur kali ini, Sobat.” Randy masih sibuk mengoceh.
“Thom akan mengalahkan Rudi,” Theo yang menjawab datar, “sama seperti mengalahkan kau tiga bulan lalu. Aku bertaruh untuknya.”
Randy melambaikan tangan. “Itu hanya kebetulan. Kalian curang, sengaja
mengerjai, membuatku mulas saat bertarung. Kali ini kau tidak punya
kesempatan.”
Theo mengacungkan tinjunya, menyuruh Randy menjauh.
Aku tetap tidak menjawab, melangkah memasuki ruangan pertarungan.
“Tidak banyak bicara kau sekarang, Sobat.” Randy terkekeh. “Catat ini,
kalau kau berhasil mengalahkan Rudi malam ini, akan kupenuhi
permintaanmu, apa saja, bahkan jika itu termasuk meloloskan penjahat
kelas kakap di gerbang imigrasi bandara.” Teriakan provokasi Randy
terdengar di belakangku.
Aku sudah tidak mendengarkan, terus menuju
pusat perhatian penonton. Beberapa anggota klub berseru-seru,
menepuk-nepuk bahuku, menyemangati, bilang kau harus menang, Thom,
habisi dia, Thom. Ruangan klub penuh, beberapa orang tidak
kukenali---selalu menjadi saat yang tepat mengajak anggota baru ketika
pertarungan penting berlangsung. Antusiasme pertarungan memenuhi setiap
jengkal ruangan. Dan di lingkaran merah yang diterangi lampu sorot,
berdiri gagah penantangku.
Rudi si boxer sejati klub.
**bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon