Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
LIMA menit, jarakku cukup jauh dari markas polisi dan bangunan penjara sialan itu.
Motor yang kukemudikan menepi, aku bergegas menghubungi telepon satelit
Kadek, tidak sabaran menunggu nada panggil. Lima kali, tujuh kali,
sampai habis, tetap tidak diangkat. Aku menelan ludah. Sekali lagi
mengulanginya. Tetap tidak diangkat. Astaga. Gumam cemasku mengambang di
langit gelap.
Baiklah, aku loncat ke atas motor, rahangku
mengeras, memacu motor secepat yang aku bisa, melesat menuju dermaga
modern dekat Sunda Kelapa. Pukul tiga dini hari, jalanan lengang,
menyisakan orang-orang yang pulang dari kafe, diskotik, dan tempat
hiburan lainnya, selang-seling dengan mobil pickup dan gerobak
sayur-mayur yang memenuhi pasar-pasar tradisional, luber hingga ke
jalan.
Aku tidak memedulikan kontras yang kulewati, konsentrasiku ada di tangan, mata, dan kaki.
Dua puluh menit, dengan kecepatan tinggi motorku melintasi gerbang
dermaga. Dua petugasnya yang selalu disiplin berjaga, bergegas berdiri,
hendak memeriksa, urung setelah melihat wajahku. Mereka melambaikan
tangan, membiarkanku lewat.
Aku tidak menghentikan kecepatan
melintasi pelataran dermaga yang licin. Belasan kapal pesiar kecil
tertambat, bergoyang anggun. Lampu di sepanjang dermaga menerangi
dinding luar dan tiang-tinga kapal. Sisanya lengang, hanya debur ombak
memukul dermaga. Angin bertiup pelan, bulan sabit menghias langit.
Pasifik tertambat paling ujung. Mataku segera membesar melihat kapal
itu. Aku berhenti persis di buritan, loncat dari motor, dengan cepat
naik ke atas kapal.
“Pak Thom.” Kadek yang lebih dulu menyapaku.
Aku sedikit tersengal, menatap ruang tengah kapal tempat biasa
berkumpul. Ada Om Liem, tidur di salah satu sofa, selimutnya berantakan.
“Di mana Opa?” Aku menyergah.
“Easy, Pak Thom, Opa di kamar.
Opa baik-baik saja, sedang beristirahat. Mungkin dia sedang bermimpi
indah naik kapal, mengungsi dari negeri Cina puluhan tahun silam.” Kadek
menyengir.
Aku mengembuskan napas lega, mengabaikan gurauan Kadek.
Astaga, ini kabar terbaik yang kudengar seminggu terakhir, mengalahkan
apa pun. Aku menunduk, masih berusaha mengendalikan napas.
“Selepas
menelepon Pak Thom, saya memutuskan untuk segera mencari bantuan.” Kadek
berbaik hati menjelaskan dan mengambilkan teko air dari kulkas.
“Daripada harus ke dermaga yang masih sembilan kilometer, butuh waktu
lima belas menit, saya memilih merapat ke salah satu kapal besar yang
sedang melintas di perairan Kepulauan Seribu, menekan sirene kapal,
menyalakan lampu darurat, meminta perhatian mereka. Setiap kapal besar
pastilah membawa obat-obatan.”
Kadek menuangkan air ke dalam gelas.
“Tebakan saya benar, Pak Thom, bukan hanya insulin, bahkan di atas kapal
itu juga ada dokter yang bertugas. Opa segera mendapat pertolongan.”
Aku menerima gelas air segar dari Kadek, menghabiskannya sekaligus,
ikut menyengir lega. “Kau memang selalu bisa diandalkan, Kadek.”
Kadek tertawa kecil. “Bukankah Pak Thom sendiri yang berpesan, saya
jangan panik, saya tetap terkendali, saya selalu berpikir jernih. Nah,
saya mendapat pencerahan dari pesan itu. Pak Thom lah yang secara tidak
langsung menyelamatkan Opa.”
Aku menepuk-nepuk bahu Kadek, menatapnya penuh respek.
“Setelah memberikan pertolongan, dokter kapal itu menyarankan agar kami
kembali ke darat segera, Opa butuh istirahat. Setelah saya
timbang-timbang, benar juga, itu jauh lebih penting dibanding terus
mengambang di laut, menghindar dari kejaran orang seperti perintah Pak
Thom sebelumnya. Semoga Pak Thom tidak marah melihat kapal ini merapat
di dermaga. Dari tadi aku menelepon nomor Pak Thom untuk memberitahukan,
sekaligus khawatir Pak Thom menunggu terlalu lama di dermaga dengan
alat suntik insulin, tapi tidak ada nada panggil. Telepon genggam Pak
Thom mati? Kehabisan batere?”
“Telepon genggamku diambil orang,
Kadek. Diambil maling besar,” aku menjawab sekenanya. “Tentu saja aku
tidak keberatan kau kembali merapat, kau selalu mengambil keputusan yang
benar.”
Kadek menatapku riang.
“Ngomong-ngomong, kapal besar
apa yang memberikan pertolongan? Kapal pesiar Star Cruises?” Aku
mengambil teko air di atas mini bar.
Kadek menggeleng, menyeringai. “Bukan, Pak Thom.”
“Kapal kontainer? Atau tanker minyak raksasa?” Aku menebak lagi, sambil
mengisi gelas kosong. Itu pastilah kapal besar yang penting hingga
punya dokter sendiri.
“Bukan, Pak Thom. Kapal armada tempur angkatan
laut. Mereka sedang persiapan latihan perang dua-tiga hari ke depan di
Laut Cina Selatan. Dokter militer yang membantu Opa.”
Astaga, aku hampir tersedak.
Kadek menyengir. “Easy, Pak Thom, mereka tidak tahu siapa Opa. Aku
karang-karang saja kalau Opa warga negara Singapura yang sedang melaut
dan tiba-tiba jatuh sakit. Om Liem membantu dengan menceracau berbahasa
Cina. Mereka tidak banyak tanya lagi, hanya dokternya yang pandai
berbahasa Inggris, jangan tanya bahasa Cina.”
Aku meletakkan gelas,
menggeleng perlahan. Entahlah, hendak tertawa atau menepuk dahi. Kadek
ternyata jauh lebih lihai dibanding yang kuduga---atau boleh jadi dia
sama seperti Maggie, bertahun-tahun bekerja denganku, jadi ketularan
akal bulusku.
Ruangan tengah kapal lengang sejenak.
“Kau sudah
kembali, Tommi?” Om Liem menyapa. Dia menggeliat di atas sofa.
Selimutnya terjatuh. Dia sepertinya terbangun oleh percakapan kami.
Aku menoleh. “Sudah bangun kau?”
Om Liem mengangguk.
“Kenapa kau tidak tidur di kamar, hah? Bukankah Kadek sudah menyiapkan kamar?”
“Om Liem tidak mau, Pak Thom. Dia sejak tadi duduk-duduk saja di ruang
tengah, hingga ketiduran.” Kadek yang menjawa lebih dulu.
“Sama
saja, Tommi. Di kamar aku tidak bisa tidur nyenyak, ada banyak yang
melintas di kepala orang tua ini. Lebih baik duduk di sini, di ruangan
yang luas.” Om Liem menjawab pelan. “Dari mana saja kau? Terlihat kusut
sekali? Seperti habis dipukuli banyak orang?”
“Jangan tanya.
Setengah jam lalu aku baru kabur dari penjara. Masih beruntung aku tidak
memakai seragam tahanan,” aku menjawab sekenanya.
Om Liem menatapku
sejenak, lantas tertawa pelan. “Orang tua ini sepertinya lebih
menyukaimu waktu kecil, Tommi. Dulu kau selalu pandai melucu dan
menyenangkan orang tua.”
Aku tidak menjawab, sudah melangkah menuju kamar, hendak melihat Opa.
“Oh iya, tadi ada kabar dari Ram, dia bilang Tante baik-baik saja,
sudah boleh pulang ke rumah. Mungkin berita ini bisa mengurangi sedikit
dari banyak urusan yang melintas di kepalamu.” Aku sempat menoleh pada
Om Liem, sebelum mendorong pintu kamar.
Om Liem diam sejenak,
mencerna kalimatku, lantas mengangguk. “Terima kasih untuk kabarnya,
Tommi. Sungguh terima kasih. Ini bahkan bisa mengurangi separuh
kecemasanku sepanjang hari.”
Aku tertegun sejenak. Seperti bisa
menatap wajah Papa dari wajah Om Liem yang sedang terharu mendengar
kabar tentang Tante. Wajah seorang Ayah yang selalu menyayangi
anak-anaknya---terlepas dari seberapa jahat dia pada dunia. Wajah orang
yang selalu kurindukan sejak usia enam tahun.
Om Liem menyeka ujung matanya. Aku bergegas menutup pintu kamar.
***
Aku tetap berada di kapal hingga pukul lima pagi.
Aku menelepon Maggie, memastikan dia baik-baik saja. “Aku sedang dalam
perjalanan menuju kantor, Thom. Jangan tanya aku pulang jam berapa tadi
malam. Hei, kau pakai nomor telepon baru? Hampir saja tidak kuangkat,
curiga ada polisi atau malah agen FBI mencariku.” Dia mengomel. Aku
mengangguk, tidak berkomentar apalagi bertanya, yang paling penting
Maggie tidak telanjur menghubungi telepon genggamku yang dikuasai dua
orang itu. Maggie baik-baik saja.
“Kau bisa mencari kontak ke
beberapa orang, Mag? Dan juga beberapa dokumen tambahan yang
kuperlukan.” Aku mulai merinci apa yang harus dia kerjakan.
“Astaga,
Thom, aku sedang mengemudi, tidak bisakah kau mengirimkan e-mail? Dan
asal kau tahu, aku terpaksa memutar jalan, lewat belakang gedung, jalan
protokol ditutup, car free day, alangkah banyak sepeda melintas di
hadapanku, dengan wajah-wajah riang, berlibur, berolahraga, berkeringat.
” Maggie menyahut sebal.
Aku lagi-lagi mengangguk, tidak berkomentar.
“Baik. Akan segera kukirim e-mail, Mag. Terima kasih banyak.” Aku menutup percakapan.
Semburat merah muncul di kaki langit timur. Matahari terbit. Aku duduk
sendirian di geladak depan kapal, Kadek berbaik hati menyediakan segelas
kopi panas, beserta peralatan kerja yang selalu tersimpan di kapal.
Lima menit aku menulis e-mail untuk Maggie, mengklik tombol send.
Masih terlalu pagi. Tetapi beberapa kapal beranjak keluar dari dermaga,
penumpangnya melambai. Hari Minggu, ada banyak pemilik kapal yang
memutuskan berlayar, meski jarak pendek. Mereka membawa peralatan
mancing atau sekadar bekal makan siang, lantas menuju salah satu pulau.
Itu sudah lebih dari menyenangkan. Maggie benar, wajah-wajah riang,
berlibur, berolahraga, dan berkeringat.
Aku meraih telepon genggam, teringat sesuatu, menelepon Julia.
Suara Julia terdengar serak, dia sepertinya terbangun oleh teleponku.
“Kau tidur jam berapa semalam?” Aku basa-basi bertanya.
Julia tertawa kecil, menguap. “Kau tahu, Thom, terakhir kali pertanyaan
ini kudengar, itu berasal dari seseorang dua tahun lalu. Sebulan
setelah itu, kami berpisah.”
Aku ikut tertawa, menatap permukaan
laut yang beriak pelan, mengilat oleh cahaya matahari pagi, melanjutkan
basa-basi percakapan. “Apa yang terjadi? Dia selingkuh?”
“Tidak, dia
tipikal lelaki yang setia. Aku yang bosan, karena setelah itu, dia
seperti mendapat inspirasi gila, memutuskan setiap pagi meneleponku,
bertanya, kau tidur jam berapa semalam, honey? Apakah tidurmu nyenyak,
honey? Mimpi indah? Merusak hidupku dengan menjadi jam beker.”
Kami berdua tertawa.
“Kau sudah mendapatkan jadwal audiensi dengan menteri, Julia?” Aku memotong tawa.
Julia terdengar menggeliat, menggerutu. “Tentu saja.”
“Jam berapa?”
“Astaga, Thom, maksudku, tentu saja kau tidak seperti seseorang itu.
Aku tahu kau meneleponku hanya untuk memastikan jadwal yang kauminta,
tidak lebih, tidak kurang. Sejak dari London aku sudah tahu, kau jelas
bukan lelaki yang romantis. Kalaupun ada jejak romantisme dalam potongan
yang amat kecil di kepalamu, segera kau membuangnya jauh-jauh.”
“Fokus, Julia. Jam berapa?” Aku memotong kalimatnya.
“Pukul sebelas nanti siang, Sir. Di kantornya. Puas?” Julia berseru.
Aku tertawa. “Terima kasih, Julia. Dan satu lagi sebelum telepon ini
kututup, kau jelas keliru, bukankah kubilang di atas pesawat penerbangan
dari London, jika kau tertarik tentangku, kita bisa diskusikan hal itu
di lain kesempatan, mungkin sambil makan malam yang nyaman.”
Julia mengeluarkan suara puh pelan.
Aku masih tertawa sambil mengucap salam, memutus percakapan.
Aku melirik jam di layar laptop. Sekarang hampir pukul enam pagi, masih
lima jam lagi sebelum pertemuan penting itu. Aku kembali menulis e-mail
untuk Maggie, teringat kalau semua data paling mutakhir tentang Bank
Semesta tertinggal di rumah peristirahatan Opa, meminta Maggie
menyiapkan beberapa salinan di kantor. Aku membutuhkannya.
Waktuku
semakin sempit, hanya 26 jam lagi sebelum Senin pukul 08.00 besok pagi.
Selain pertemuan dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan, ada
satu bidak superpenting yang harus kuamankan. Aku menyisir rambut dengan
jemari. Sebelum sore berganti malam, sebelum rapat komite memutuskan,
aku harus sudah memastikan bidak superpenting ini bisa mengintervensi di
detik terakhir.
“Kau mau bergabung sarapan dengan kami, Tommi?”
Aku menoleh. Opa dengan tongkat di ketiak berdiri di pintu menuju geladak, tersenyum.
“Kadek membuat nasi goreng spesial, Tommi. Kau pasti suka. Semakin
lama, kupikir masakan Kadek sama lezatnya dengan masakan mamamu dulu.”
Aku balas tersenyum, mengangguk, melipat laptop, bangkit dari kursi.
Apa salahnya sarapan sebentar bersama Opa. Setelah kejadian tadi malam,
rasa cemas Opa tidak tertolong. Apa salahnya aku menghabiskan waktu
setengah jam untuknya. Besok lusa kita tidak pernah tahu apa yang akan
terjadi. Entah apakah Bank Semesta dan grup bisnis Om Liem hancur lebur,
entah apakah pemerintah memutuskan memberikan dana talangan, Om Liem
terpaksa menyerahkan sebagian besar bahkan seluruh sahamnya, setidaknya
pagi ini aku punya waktu berharga bersama orang-orang yang juga amat
berharga. Sejak Papa dan Mama hangus terbakar bersama rumah kami puluhan
tahun silam, hanya Opa dan Tante yang kumiliki.
Kecil sekali keluarga kami. Itu pun tetap kecil meski sudah menghitung Om Liem.
Aku membantu Opa melangkah menuju dapur, dan segera aroma masakan Kadek tercium lezat.
*bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon