Kamis, 09 Maret 2017

Menyikapi Hutang Oleh Ippho Santosa



Utang, inilah salah satu masalah besar yang melilit sebagian kita. Bahkan artis juga. Kanye West pernah membuat pengumuman yang shocking melalui akun Twitter-nya, di mana ia mengaku punya utang pribadi sebesar 53 juta dollar AS atau setara dengan Rp 714 miliar. 

Lanjutnya, “Please pray me to overcome. This is from my true heart.” Nggak jelas apakah Kanye West beneran serius atau sekedar bercanda. Sebelumnya, ia sering membuat pernyataan-pernyataan yang kontroversial terkait Bill Cosby, Taylor Swift, dan lain-lain.

Begini. Hal pertama yang harus dilakukan dalam menyikapi utang adalah dengan 'tenang'. Maka inilah singkatan utang menurut saya:
- UTANG: Usahakan Tetap Tenang
- UTANG: Ujung-ujungnya Tetap Uang 

Selanjutnya, saya menyiapkan sejumlah langkah praktis. Insya Allah jadi solusi:

Pertama, minta maaf dan minta ridha kepada si pemberi utang. Semakin dia ridha, semakin lancar rezeki Anda. Kalau dia jengkel, seret rezeki Anda.

Kedua, cicil sebisanya. Ini menunjukkan keseriusan. Si pemberi utang menilai. Malaikat pun menilai. Nah, Anda buktikan bahwa Anda sungguh-sungguh ingin melunasi utang.

Ketiga, pastikan Anda bisa dihubungi oleh si pemberi utang. Ini menunjukkan bahwa Anda tidak kabur. Maaf, banyak yang bersikap sebaliknya, seperti mematikan handphone atau pindah rumah.

Keempat, sedekahkan barang-barang Anda. Siapa yang berani meremehkan kekuatan sedekah? Ini akan memudahkan Anda untuk menyicil dan melunasi utang.

Kelima, kalau Anda muslim, rutinkan subuh berjamaah di masjid. Nggak usah banyak tanya, lakukan saja. Btw, masjid itu mulia. Subuh itu mulia. Berjamaah itu mulia. Insya Allah terkikis tuh utang.

Ke depan, agar sehat finansial dan bebas utang, hitunglah pengeluaran secara ketat juga rinci. Jangan kira-kira saja.

Nah, sebelum menghitung pengeluaran dalam satu tahun, awali dulu dengan menghitung pengeluaran dalam satu bulan. Mulai dari cicilan utang, belanja bulanan, tagihan listrik, air dan pulsa, sampai dengan ongkos transportasi dalam sebulan. 

Nanti, total jumlah pengeluaran ini harus bisa terpenuhi dari gaji atau laba bulanan Anda. Jika tidak, masalah yang sama bisa berulang menimpa Anda. Kapan-kapan kita sambung lagi penjelasannya. Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Produksi Sebesar-besarnya, Komsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya Oleh Ippho Santosa



Di dunia ini, sejumlah keluarga kerajaan dari beberapa negara memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mewah. Yah, macam-macam yang mereka miliki. Mulai dari perabot berlapis emas, koleksi ratusan mobil, sampai koleksi hewan langka!

Punya mobil banyak, bolehkah? Boleh-boleh saja, asalkan produktif. Misalnya untuk rental, kargo, dll. Bukankah dulu Usman juga punya banyak unta dan kuda? Nah, ini untuk tujuan produktif. Perdagangan. Bukan untuk senang-senang pribadi.

Menurut riset yang digelar oleh ilmuwan dari Amerika dan Inggris, ditemukan bahwa ketika kelompok elit kian kaya, maka 99 persen manusia lainnya (yang tidak kaya) di bumi justru semakin tak bahagia. Lho kok gitu?

Ya begitu. Mungkin karena ketimpangan ekonomi. "Studi kami menunjukkan, secara rata-rata, tingkat kepuasan hidup akan turun ketika si kaya semakin kaya," tulis para peneliti dalam riset bertajuk "Top Incomes and Human Well-Being Around the World" dan disarikan kembali dalam The Guardian.

Jan‐Emmanuel De Neve dan Nattavudh Powdthavee, dua ilmuwan dalam riset itu, menulis bahwa penelitian mereka bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh meningkatnya harta segelintir orang paling kaya di dunia dan dampaknya terhadap kondisi manusia secara keseluruhan.

Itu faktanya. Terus, apa solusinya?

"Produksi sebesar-besarnya, konsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya," itulah seruan saya sejak dulu. Yang namanya manusia mesti produktif. Namun yang dipakai seperlunya saja, nggak konsumtif. Dengan demikian, akan banyak yang tersisa. Nah, sisanya ini yang didistribusikan seluas-luasnya. Berbagi.

Apa yang dimaksud dengan produktif? Bisnisnya berkembang. Bisnisnya menaungi orang banyak. Punya sederet karya. Punya setumpuk prestasi. Bertabur amal ini-itu. Perhatikan baik-baik. Di sini fokus semuanya adalah manfaat bagi orang banyak, bukan kesenangan pribadi.

Saya sempat bertanya sama guru saya, "Bukankah Nabi Sulaiman (Raja Salomo) memiliki segalanya dan semuanya serba mewah?" Guru saya menjawab, "Di zaman itu mungkin perlu syariat kaya seperti itu. Bahkan dia diizinkan berinteraksi dengan jin. Sekarang, tidak lagi. Sebagai umat Nabi Muhammad, maka patokan kita adalah Nabi Muhammad dan para sahabat."

Tapi, ada yang berkilah, "Ini kan uang saya sendiri, terserah saya dong!" Secara rasional, dalih itu memang betul. Namun secara spiritual, sepertinya ini bertentangan dengan semangat Al-Takatsur yang melarang kita untuk bermegah-megahan. Kaya, boleh. Bermegah-megahan, jangan.

Kalau Anda kaya, terus Anda punya BMW atau Volvo yang bagus safety-nya, itu boleh-boleh saja. Tapi kalau Anda gemar Audi terus mengoleksi Audi di garasi Anda, maaf, menurut saya itu sudah menjurus pada bermegah-megahan.

Semoga ini jadi bahan renungan bagi semua. Sekian dari saya, Ippho Santosa.

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 34 - Pertarungan dalam Lift




Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------


KELIRU, mereka sama sekali tidak tertarik mengunyah pizza yang kubawa.

Pintu lift lantai lima terbuka, aku melangkah layaknya seorang pengantar pizza yang baik, bergegas masuk ke ruang resepsionis kantorku. 

Segera, dua dari petugas berseragam taktis langsung menghadang. 

“Pagi, Bos. Saya hendak mengantar pizza ke dalam.”

“Kau tidak boleh masuk!” Salah satu dari mereka mengangkat tangan, menunjuk lorong, menyuruhku pergi. Tangan satunya mengangkat senjata mesin otomatis, teracung padaku.

“Eh?” Aku pura-pura bingung, memastikan nama perusahaan yang ditulis dengan batu pualam di belakang meja resepsionis. “Bukankah ini kantor Thomas & Co? Ada karyawannya yang memesan pizza. Aku harus mengantar ke dalam.” Dan aku, seperti gaya pengantar pizza yang terburu-buru, mengabaikan dua petugas itu, melangkah menuju pintu di sebelah meja resepsionis.

“Kau tidak boleh masuk!” Salah satu dari mereka membentak, sigap meloncat. Tangannya yang terlatih dengan cepat mencengkeram kerah seragam pizza-ku.

Sial! Aku menelan ludah, sedikit tercekik. 

“Eh, aku, aku tahu ruang kerja yang memesan pizza ini, Bos. Biar kuantar ke dalam langsung, tidak akan lama. Mereka sudah biasa pesan.” Aku berusaha mengangkat tinggi kotak pizza, menunjukkannya, memasang wajah seperti tersiksa oleh cengkeraman kasar itu.

Petugas yang memegang kerahku sedikit melonggarkan genggaman tangannya demi cicit suara kesakitanku. “Tidak ada yang memesan pizza! Tidak ada siapa-siapa di dalam sana.”

“Ada yang pesan, Pak, eh Bos.” Aku menunjukkan sekilas resi pesanan. “Aku sungguh harus mengantarkannya tepat waktu, atau mereka berhak menerima pizza gratis karena terlambat dan pizza-nya telanjur dingin. Gajiku akan dipotong manajer gerai, belum lagi dia akan marah-marah.” Aku membungkuk, mengembuskan napas, pura-pura tersengal dan pias oleh kejadian barusan.

Petugas itu menoleh temannya, meminta pendapat.

Temannya mengangkat bahu. Tangannya terus siaga memegang senjata---terarah padaku.

“Baik. Sekarang kau serahkan pizza-nya, biar kami yang bawa ke dalam.” 

“Eh, aku harus mengantarnya sendiri, Pak Bos.” Aku buru-buru menggeleng. Aku harus masuk ke dalam, aku harus melihat sendiri posisi Maggie, dan seberapa banyak mereka yang sedang menahan Maggie.

“Sama saja!” Petugas itu berseru kesal, dia mulai tidak sabaran lagi melihat wajahku. “Kau tinggal bilang di mana meja pemesan pizza ini. Biar aku yang antar. Kau tunggu di sini saja.”

Aku berpikir sejenak, berusaha mencari akal untuk bernegosiasi diizinkan masuk.

Petugas itu sudah merampas kantong plastik besar berisi kotak pizza di tanganku.

“Di mana meja pemesannya?” Mendesak, menatap galak.

“Eh, Ibu Maggie. Mejanya paling pojok.” Aku terbata-bata menjawab.

Petugas itu melangkah dengan cepat.

Aku ikut melangkah masuk, mengiringinya.

“Astaga.” Petugas menoleh, tangannya bergerak cepat, senjata mesin otomatisnya terangkat, larasnya menahan dadaku. “Alangkah susah memberi perintah padamu. Tunggu di luar aku bilang berarti kau tunggu. Atau kau tidak akan pernah bisa lagi mengantar pizza walau sekotak kecil jika kutarik pelatuk senjata ini.”

Aku menahan napas. Mata kami bersitatap satu sama lain.

“Maaf, Pak, eh, Bos. Maaf.” Aku menelan ludah, mengangkat tangan, perlahan melangkah mundur.
Setidaknya satpam gerbang belakang gedung perkantoran benar. Jumlah mereka enam. Meski berpura-pura gentar menatap senjata, sebelum melangkah mundur, aku sekejap bisa melirik dengan jelas ujung ruangan. Maggie didudukkan di salah satu kursi, tangannya diborgol. Empat petugas berada di sekitarnya, berjaga penuh. Bintang tiga polisi itu terlihat santai menikmati pemandangan jalanan kota yang lengang dari dinding kaca. Dua tangannya di saku celana. Dia tidak memperhatikan keributan kecil dua petugasnya yang berjaga di meja resepsionis dengan pengantar pizza.

“Apalagi yang kau tunggu, hah? Pizza-mu sudah kuletakkan di atas meja pemesannya.” Petugas yang membawa kotak pizza kembali.

“Eh.” Aku menggaruk kepala, melonggarkan topi seragam. “Biasanya mereka memberiku tips, Bos.”
“Apa kau bilang?” Dia membentak, melotot.

“Eh, tips, Pak Bos. Biasanya ada.” Aku masih berusaha melirik ke sana-kemari, memastikan apakah masih ada petugas lain yang berjaga di lokasi berbeda.

“Lupakan tipsmu. Segera menyingkir dari sini.” Dia mendorongku kasar. “Dan jangan pernah cerita pada siapa pun apa yang kaulihat.”

Petugas yang satunya mendekat, bersiap memukulkan popor senjata jika aku tidak segera pergi.

Aku mengangguk. Baiklah, tidak ada yang bisa lagi kulakukan. Dengan situasi seperti ini, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekatinya saja aku tidak bisa. Segeram apa pun aku, segemas apa pun, termasuk ingin meninju petugas yang sekarang kasar sekali menusuk-nusukkan laras senjatanya ke perut, aku tidak punya pilihan selain pura-pura pergi. Setidaknya aku tahu persis Maggie baik-baik saja. Dia tidak diperlakukan kasar. Sesuai skenario, aku hanya bisa menunggu. Dan berharap, setengah lusin polisi berpakaian tempur ini akan mengunyah pizza dengan topping spesial bunga terompet.

Aku perlahan melangkah keluar.

Sayangnya skenario itu gagal total. Jangankan memakan, mereka menyentuh kotaknya pun tidak.



***

Lima menit yang dijanjikan bintang tiga polisi itu berlalu.

Aku menunggu dengan tegang di lorong lift, di balik tanaman hias besar, di dekat pintu menuju tangga darurat. Aku mengintip ke arah kantorku, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda pizza itu disentuh mereka. Dua petugas yang berjaga di meja resepsionis kantor tetap siaga, berjaga-jaga atas segala kemungkinan.

Bintang tiga polisi itu membuktikan ucapannya, dia akan membawa Maggie pergi jika aku tidak menunjukkan batang hidung sesuai tenggat yang diberikan. Lima menit berlalu, dia bahkan tidak perlu repot-repot lagi berusaha meneleponku. Dia berteriak memberi perintah pada empat anak buahnya untuk segera membawa tahanan. Mereka bergerak. Senjata-senjata teracung, Maggie disuruh berdiri. 

Dari balik tanaman hias, aku mendengar bentakan-bentakan menyuruh Maggie segera melangkah. Terdengar suara mengaduh tertahan Maggie. Tanganku mengepal, situasi semakin serius. Kalau saja hendak menurutkan emosiku, saat ini juga aku akan menyerbu ruangan. Tapi itu tidak bisa kulakukan. Julia benar, itu hanya bunuh diri, dan aku bisa membahayakan Maggie secara tidak langsung.

Maggie melangkah patah-patah keluar. Dua petugas di meja resepsionis bergabung mengawal, seperti sedang mengawal penjahat besar paling berbahaya. 

Bintang tiga polisi itu melangkah santai di belakang.

Aku mendongak, menatap langit-langit lorong. Apa yang harus kulakukan sekarang? Napasku sungguhan tersengal, tegang, mencengkeram paha, berusaha mengendalikan diri.

Rombongan itu sudah menuju lift. Satu-dua kali Maggie didorong agar berjalan lebih cepat.

Tanganku mengepal keras. Hanya hitungan detik, dan Maggie sudah dibawa pergi entah ke mana. Aku tidak akan pernah bisa lagi menyelamatkannya.

Rombongan itu beberapa langkah lagi menuju lift.

Aku kehabisan kesabaran, sekarang atau tidak sama sekali, aku siap lompat dari persembunyian, berlari menyerbu rombongan itu.

“Psst!”

Seperseribu detik. Bisikan pelan itu membuat gerakanku tertahan. 

“Psst!”

Aku menoleh. Kejutan besar.

Adalah Rudi, si bokser sejati klub petarung. Kepalanya muncul di balik pintu tangga darurat dua langkah di sebelahku.

“Ikuti aku, Thomas. Waktu kita terbatas.” Dia tersenyum, matanya bersinar meyakinkan.

Aku menelan ludah, tertahan menoleh pada Rudi sejenak, menoleh lagi ke ujung sana. Rombongan yang membawa Maggie sudah persis di depan lift.

“Cepat, Kawan. Atau stafmu yang cantik itu tidak punya kesempatan lagi.” Wajah Rudi hilang di balik pintu darurat, suara kakinya yang menuruni anak tangga terdengar berderap di balik pintu.

Aku mengusap wajah. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Rudi muncul dan menawarkan bantuan. Aku menoleh ke ujung lorong, salah satu polisi menekan tombol ke bawah, menunggu lift terbuka.

Baiklah. Pilihanku terbatas. Aku bergegas membuka pintu darurat, dengan cepat menyusul Rudi yang sudah satu lantai di bawah. Aku loncat ke pegangan tangga, dengan bantalan paha, meluncur.

“Jangan banyak bertanya dulu, Kawan.” Rudi menoleh, tertawa.

“Anggap saja aku sakit hati hanya bertugas mengatur lalu lintas di perempatan.”

Aku menelan ludah. Kami sudah tiga lantai turun dengan cepat.

“Dari dulu aku selalu berharap bisa bertarung bersisian bersamamu, Thomas.” Rudi memicingkan matanya. “Itu pasti akan seru. Tetapi Theo dan pendiri klub petarung terlalu konservatif. Aku sudah mengusulkan berkali-kali agar kita membuat jenis pertarungan baru di klub. Dua lawan dua, misalnya. Atau empat lawan empat. Itu jelas lebih seru, bukan?”

Kami tinggal satu lantai lagi tiba di lantai lobi gedung.

Rudi mendorong pintu darurat, keluar, berlarian di lobi yang lengang. “Nah, inilah kesempatan besarnya. Dua lawan enam. Ini akan menjadi pertarungan hebat, Thomas. Pertarungan legendaris.”

Aku menelan ludah, dari tadi tidak berkomentar, terus mengikuti langkah kaki Rudi.

“Kita masuk dengan cepat, Kawan. Seperti angin puyuh.” Rudi mengatur napas, menatapku yakin. “Lima detik pertama adalah segalanya.”

Aku akhirnya paham. Kami sudah berdiri persis di depan pintu lift lantai lobi. Aku mendongak, menatap petunjuk posisi lantai, lift masih bergerak turun, dua lantai lagi.

“Kau pasti tahu, senjata mesin otomatias yang mereka pegang tidak akan berguna dalam pertarungan jarak pendek. Ruangan lift terlalu sempit untuk mengambil ancang-ancang menembak. Kita akan menyerbu masuk persis pintu lift terbuka, kita langsung beradu punggung, Thomas. Kau urus tiga atau empat petugas, aku urus tiga yang lainnya.” Rudi bersiap-siap, mengenakan kedok di kepala, hanya terlihat matanya saja sekarang, dia memasang posisi bertinju.

Aku ikut memasang posisi, gigiku bergemeletuk oleh sensasi pertarungan, tanganku mengepal sempurna membentuk tinju, bedanya tidak ada sarungnya di sana sekarang.

Rudi benar, ini akan jadi pertarungan hebat.

“Pukul bagian badan yang mematikan, Thomas. Jangan mengasihani lawanmu. Aku tahu, dalam setiap pertarungan klub, kau bukan tipikal petarung pembunuh, kau kadang berbaik hati. Tetapi enam polisi yang akan kita hadapi ini terlatih untuk membunuh, aku tahu persis, mereka mantan anak buahku. Jika kau tidak segera melumpuhkan mereka, mereka dengan senang hati melakukannya lebih dulu. Ingat, Thomas, satu kali pukulan yang mematikan. Tidak akan ada kesempatan tinju kedua atau ketiga!”

Aku mengangguk. Lobi gedung yang lengang hanya menyisakan dengus napas kami, tegang.
“Bersiap, Kawan. Bel ronde pertama sekaligus terakhir akan terdengar!” Rudi mendesis.

Lift berbunyi pelan, tanda lift sudah tiba di lobi.

Pintunya bergerak membuka. Amat perlahan rasa-rasanya.

Enam petugas bersenjata langsung terlihat. Satu bintang tiga polisi yang berdiri bersandar. 
Maggie persis di tengah.

Aku dan Rudi sudah lompat masuk, bahkan sebelum pintu sempurna terbuka.

Lihatlah! Kami sudah bertarung puluhan kali di klub. 

Tetapi ini sungguh pertarungan paling hebat yang pernah kulakukan. Kami seperti penari masyhur yang sedang ekstase menari mengikuti gerakan tangan dan kaki, atau seperti konduktor orkestra yang sedang memimpin pertunjukan dengan segenap sensasi, atau seperti pelukis besar yang setengah sadar mencampur warna, menumpahkannya di kanvas, corat-coret penuh irama, membuat karya agung.

Masterpiece.

Tanganku sudah bergerak cepat dalam ketukan pertama, satu tinju menghantam dagu salah satu polisi. Tubuhnya terbanting, kepalanya menghantam dinding lift, senjatanya terlepas. Rekannya berteriak, “Awas!” belum hilang kata awas itu di langit-langit lift yang terasa sempit karena ada tujuh orang ada di dalamnya, tubuh polisi itu sudah menghantam dinding lift, Rudi meninju pelipisnya. 

Aku dan Rudi adalah petarung terbaik klub, beringas menghabisi lawan. Dua detik kemudian, dua polisi lain menyusul terkapar, salah satu polisi itu terduduk, tanpa sengaja menarik pelatuk senjata mesin di tangannya, rentetan peluru melukis atap lift, lampu terburai, cermin pecah berderai, suara tembakan yang memekakkan telinga, aku dan Rudi menunduk, tanganku mendorong Maggie agar tiarap.

Tembakan terhenti, polisi itu sudah terkapar pingsan.

Aku lompat dengan cepat, meninju dagu polisi yang tersisa, pukulan yang mematikan. Petugas itu melenguh kesakitan, giginya rontok, keluar bercampur darah dan ludah. Rudi dalam waktu yang sama sudah menghajar polisi lainnya, menghantam leher, polisi itu sejenak berdiri, lantas roboh tanpa suara.

Pertarungan selesai di detik kelima belas.

Rudi dengan cepat memegang kerah bintang tiga polisi yang sejak tadi termangu menatap kejadian supercepat, ibarat menonton kereta Shinkansen yang sedang melintas di hadapannya. Sekejap, enam anak buahnya sudah terkapar, tumpang tindih di ujung kakinya.

“Kau bahkan tidak layak untuk menerima tinjuku.” Rudi menggeram, mendorong bintang tiga itu jatuh terduduk, meloloskan pistol di pinggang petinggi polisi itu, membuang isi pistol. Peluru berkelotakan di lantai lift.

“Ayo, Thomas, bawa stafmu pergi!” Rudi menoleh padaku, sembarang melemparkan pistol kosong.
Aku mengangguk, mencari kunci borgol di salah satu pinggang petugas.

Aku membuka borgol Maggie, lantas membantunya berdiri. Wajah Maggie pias. Tangannya gemetar tidak terkendali. Matanya basah. Dia menangis ketakutan, tetapi dia baik-baik saja. 

Aku memapah Maggie keluar dari lift. Rudi berjalan di belakangku.

Lobi gedung lengang.

Jam besar yang diletakkan di salah satu dinding lobi berdentang sebelas kali.

Kami sudah melangkah keluar, Julia menyusul bergabung dari toilet.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 33 - Racun


Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.


------------ Selamat Membaca -------------------


“KAU diajarkan tentang Socrates di sekolah?” Opa bertanya takzim.

Aku mengangguk. “Itu salah satu pelajaran favoritku, Opa.”

“Oh ya?” Opa tertawa. “Tetapi apakah gurumu bilang bahwa Socrates, orang bijak, filosof, penemu banyak pengetahuan itu mati bunuh diri?”

Aku menggeleng, menelan ludah.

Itu jadwal ketiga kalinya aku ke rumah peristirahatan. Opa mengajakku ke kebun miliknya dekat Waduk Jatiluhur, mengenakan topi bambu, bersepatu bot, santai berjalan di bawah rimbun pohon durian, mangga, alpukat, nangka, dan sebagainya.

“Tentu saja tidak.” Opa menepuk bahuku. “Itu akan merusak imajinasi kalian tentang orang hebat itu. Tetapi adalah fakta, ia bunuh diri dengan racun hemlock.”

Aku menyeka keringat di pelipis. Sejak tadi pagi, saat Opa meneriakiku agar bangun, tertawa menyiramkan air di kepalaku---kami semalam tidur terlalu larut karena terlalu asyik memancing di waduk---aku sudah menebak-nebak Opa akan mengajariku apalagi pagi ini.

“Indah bukan?” Opa menunjuk serumpun bunga di semak belukar.

Aku tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Insting remajaku menebak, bunga ini pasti ada hubungannya dengan kematian Socrates.

“Itulah water hemlock, Tommi. Bunga dan batangnya aman kaukunyah, tapi akarnya, yang dipenuhi getah, amat berbahaya. Inilah salah satu tumbuhan paling berbahaya di dunia. Socrates yang agung, mati setelah menelan racun hemlock. Tubuhnya kejang-kejang, lantas maut segera datang. Mengerikan, bukan?”

Bulu kudukku berdiri. Aku menghela napas.

Opa sudah melangkah ringan, berpindah ke bagian lain kebun, seperti sedang mengajakku berjalan-jalan di lorong mal.

“Nah, itu pohon strychnine. Tidak lazim kaudengar. Tetapi Cleopatra memaksa pelayannya memakan biji buah pohon ini, untuk mengetahui apakah biji pohon ini cara terbaik untuk bunuh diri. Racun pohon ini terkenal sekali, Tommi, disebut brucinne. Beberapa cerita legendaris menyebut-nyebut racun burcine. Kembali lagi ke Cleopatra tadi, kabar baiknya, setelah melihat pelayannya meninggal dengan cara yang amat menyakitkan, Cleopatra berubah pikiran. Kabar buruknya, dunia ini memang aneh sekali dalam kasus tertentu, Cleopatra memilih racun ular untuk bunuh diri. Dia mati dengan memasukkan tangannya ke dalam keranjang ular berbisa.”

Astaga, aku paham sudah apa pelajaranku pagi ini. Opa mengajakku mengenal begitu banyak racun. Inilah sesi paling senyap. Aku lebih banyak diam, menatap wajah tua Opa yang terlihat riang. Aku tidak memikirkan dari mana Opa tahu banyak hal, karena jelas, dengan pengalaman hidupnya, meski Opa tidak pernah sekolah, pengetahuannya luas dan membekas. Aku lebih memikirkan, buat apa aku diajari soal ini. Ini berbeda dengan belajar mengemudi speedboat, menembak, atau menyetir mobil. 
Awalnya hanya bunga, pohon, atau tanaman yang memang tidak lazim, tidak pernah kudengar, dan langka tumbuh di iklim tropis, tetapi semakin siang, Opa mulai menunjuk jenis tanaman yang sejatinya banyak sekali berada di halaman rumah kebanyakan. Aku menelan ludah, bahkan satu-dua, jenis tanaman itu dihidangkan di meja makan.

“Kau pernah makan singkong mentah-mentah, Tommi?” Opa menyeringai.

Aku buru-buru menggeleng.

“Jangan pernah lakukan. Beberapa jenis singkong, ketela pohon, atau apalah orang menyebutnya mengandung racun sianida dengan kadar yang lebih dari cukup untuk membunuhmu.” Dengan suara perlahan, Opa menjelaskan.

“Masa-masa itu, ketika kehidupan semakin sulit, banyak orang-orang kampung yang mencari tumbuhan yang bisa dimakan dalam hutan. Kemarau panjang, paceklik, gagal panen, tidak ada bantuan, mereka memakan apa saja yang bisa dimakan. Di beberapa tempat disebut gadung, aku akan menyebutnya ubi kayu hutan saja. Jika kau tidak becus memasaknya, tidak cukup matang prosesnya, satu keluarga penuh, atau seluruh kampung bisa binasa dalam satu malam.”

Aku bergidik, teringat tadi pagi Tante menghidangkan cake dari ketela pohon.

Opa tertawa. “Tenang, Tommi, kalau kau masak dengan benar, racun sianidanya akan hilang, bahkan tidak semua orang tahu kalau singkong itu berbahaya. Kita tidak akan bisa berjalan-jalan dikebun lagi jika Tante kau salah memasaknya.”

Itu sungguh bukan gurauan yang menarik. Aku perlahan mengembuskan napas.

Persis saat matahari di atas kepala terik membakar ubun-ubun, Opa melambaikan tangan, mengajakku kembali ke rumah peristirahatan. Aku lebih banyak diam saat Opa mengemudi mobil.
“Kau tidak suka pelajaran hari ini, Tommi.” Opa berkata takzim.

Aku bergumam antara terdengar dan tidak.



***


Dua puluh tahun berlalu sejak pelajaran itu.

“Ada berapa orang di atas sana?” aku bertanya cepat.

“Setidaknya enam orang, Pak Thom.” Satpam kantor menjawab ragu-ragu, “Mungkin juga lebih, aku tidak sempat menghitung. Mereka baru tiba setengah jam lalu, berseragam taktis dan bersenjata. Beberapa memakai topeng. Mereka langsung menerobos meja depan. Jangankan menahannya, bertanya saja kami tidak berani.”

Aku mengusap dahi. Urusan ini serius sekali. Itu pasti rombongan sama yang tadi malam menangkapku. Seharusnya aku segera menyuruh Maggie menyingkir, bekerja dari lokasi alternatif yang lebih aman. Dengan telepon genggamku dipegang bintang tiga itu, soal waktu mereka bisa menyisir satu per satu orang kepercayaanku, dan Maggie jelas ada di urutan pertama.

“Apakah mereka yang kemarin menyergap kita di Waduk Jatiluhur?” Julia bertanya cemas---sepertinya sakit hati dibilang Nenek Lampir menguap cepat oleh situasi ini.

Aku mengangguk cepat. “Mereka juga orang yang sama yang telah menembaki kapal Opa tadi pagi di dermaga yacht.” Aku melirik jam di pergelangan tangan. Meski jadwalku superketat, aku sungguh tidak bisa membiarkan Maggie ditangkap. Tadi dari parkiran gedung kementerian, mengambil alih kemudi mobil Julia, kami mengebut di jalanan protokol ibukota, tiba dua menit lebih awal dibanding tenggat waktu yang diberikan penelepon, suara fals yang amat kukenal. Kami segera merapat di gerbang belakang kantor, bertanya pada satpam yang berjaga---yang justru lebih dulu melaporkan situasi.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Pak Thom?” Satpam kantor bertanya cemas.

“Mereka menggeledah kantorku.”

“Menggeledah kantor, Pak Thom? Memangnya ada apa di sana? Ada bom?”

“Mana aku tahu. Mereka sekarang menahan Maggie.” 

“Ibu Maggie yang cantik dan baik hati itu? Aduh!” Satpam kantor kontan mengeluh.

Aku mengabaikan wajah terlipat satpam.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Thom?” 

“Aku belum tahu, dan berhentilah bertanya, kau tidak membantu situasi dengan pertanyaan itu,” aku menjawab ketus, biarkan aku berpikir dulu. 

Bagaimana aku bisa menyelamatkan Maggie dari sana? Dengan jumlah polisi lebih dari setengah lusin, jangankan menyelamatkan Maggie, mendekati lantai kantorku saja tidak mudah. Sejak mengebut tadi aku sudah memikirkan skenario, buntu. Tidak ada celah. Jangankan Maggie yang sendirian, dijaga oleh setengah lusin pasukan, kami berempat, aku, Julia, Opa, dan Om Liem kemarin sore bahkan tidak bisa kabur jika tidak ada bantuan Randy.

Telepon genggamku berbunyi.

Nomor telepon Maggie.

“Halo, Thomas. Kau butuh berapa lama lagi, hah?” Suara berat itu langsung bertanya, intonasinya tidak main-main.

“Aku masih dalam perjalanan.”

“Waktumu habis, Thomas.”

“Aku perlu waktu untuk tiba di kantor. Ayolah, lima belas menit lagi. Aku pasti datang,” aku berseru, mengucapkan apa saja yang terpikir di kepala, termasuk kemungkinan menunda-nunda, memperlambat.

“Sayangnya, aku tidak punya waktu selama itu, Thomas. Jika, lima menit dari sekarang kau tidak menampakkan hidung di ruangan kantor ini, stafmu yang cekatan ini sudah telanjur dibawa ke penjara, dan tidak akan ada lagi jalan kembali untuknya.” Pembicaraan diputus.

Aku berseru jengkel, hampir membanting telepon genggam, hei, tidak bisakah dia bicara lagi sebentar, bernegosiasi. Dasar tabiat pengecut. Dia seharusnya tidak melibatkan orang lain dalam urusan ini---apalagi Maggie.

“Bagaimana?” Julia bertanya cemas.

Sebuah motor bebek pengantar pizza melintasi gerbang satpam.

“Kau tidak akan menyerbu langsung ke atas, bukan?” Julia bertanya panik saat melihat tanganku bergerak ke arah revolver di pinggang, di balik jas rapi.

“Aku akan menyerbu mereka. Kita lihat saja akan seperti apa.”

“Kau gila, Thomas. Kau kalah jumlah. Dan sejak kapan kau pintar menembak?” Julia berteriak.

“Pak Thom? Apa yang akan Pak Thom lakukan?” Satpam gerbang juga refleks melangkah mundur, jerih melihat revolver di tanganku---beruntung hari Minggu, pintu masuk gedung perkantoran sepi, keributan kecil ini tidak menarik perhatian siapa pun.

Motor bebek pizza yang barusan melintas sudah parkir rapi. Petugasnya sambil bersiul menenteng kantong plastik besar berisi kotak pizza lezat.

Aku sudah melangkah cepat.

“Tunggu, Thomas.”

Aku tidak mendengarkan Julia.

“Kau benar-benar kehilangan akal sehat, Thomas. Kau sama saja bunuh diri.” 

Aku sekarang bahkan berlari-lari kecil, membiarkan Julia mengejarku.

Sekejap, aku sudah mencengkeram kerah baju petugas pengantar pizza, mengacungkan pistol, berkata tegas. “Ikut denganku, segera!”



***


Dalam hitungan detik, aku mendapatkan ide itu.

Opa benar, tidak ada pengetahuan yang tersia-siakan, termasuk tentang pengetahuan racun sekalipun. Kalian tahu, di sekitar rumah, di halaman, di trotoar, terkadang tumbuh tanaman yang sangat beracun tanpa kita sadari. Bunga terompet mekar tidak berbilang di taman gedung perkantoran. Indah. Tetapi apakah ada karyawan yang sering berlalu-lalang tahu kalau bunga itu amat berbahaya. 

Aku menyeret petugas pengantar pizza itu berjalan ke toilet lantai dasar gedung, menyuruhnya melepas baju seragam pengantar pizza. Dia takut-takut, nanar melihat revolver, mulai melepas baju dan celana. Aku melemparkan pistol ke Julia, mengganti pakaianku dengan cepat.

“Hei, sebentar!” Aku meneriaki pengantar pizza yang hendak lari terbirit-birit setelah pertukaran baju selesai.

“Untuk kau! Cukup untuk mengganti pizza dan seragam kerjamu.” Aku melemparkan gumpalan uang yang kutarik dari dompet.

Dia takut-takut mengambilnya di lantai toilet.

“Sekali saja kau cerita tentang kejadian ini, bahkan dalam mimpi kau pun aku akan datang. Hei, kau dengar?”

Pengantar pizza itu sudah mendorong pintu toilet, berlari cepat menuju motornya, melintasi gerbang, membuat satpam menatap heran, sejak kapan pengantar pizza ini berganti pakaian jas rapi?

Aku menyuruh Julia memetik beberapa bunga terompet di taman gedung perkantoran. Gadis itu, yang mulai mengerti, berlari cepat seperti mengejar informan berita setimpal hadiah Pullitzer. 

“Kandungan aktifnya adalah atropine, hyoscyamine, dan scopolamine, zat penghilang kesadaran. Kau bisa meninggal jika overdosis,” aku menjawab cepat pertanyaan Julia, seberapa berbahaya, sambil memeras bunga terompet yang diberikan Julia.

Julia menelan ludah, wajahnya pias.

“Kau tidak sungguh-sungguh, Thomas?”

“Aku lebih dari serius. Sekali saja mereka tidak sopan menyentuh Maggie, aku akan membunuh mereka semua,” aku menjawab dingin, sekarang memotong bunga itu kecil-kecil, menjadikannya topping.

Julia berpegangan ke pintu toilet.

Sempurna sudah. Potongan bunga terompet sudah bergabung, tersamar seperti bagian dari resep lezat pizza. Aku memasukkan kembali dua pizza ukuran jumbo itu ke dalam kotak, meletakkannya dalam kantong plastik, memasang topi khas pengantar pizza, memasang kacamata besar bundar milik pengantar pizza tadi, menyamarkan tampilan. “Kau tunggu di sini, Julia. Jika lima belas menit aku tidak turun, kau beritahu satpam depan untuk menelepon siapa saja, meminta bantuan.”

Julia kehilangan komentar. Dia mencengkeram pintu toilet.

Aku sudah bergegas menuju lift.

Entah siapa yang memesan pizza ini, tidak penting. Aku akan membawanya langsung menuju ruangan kantorku, bilang ada kiriman pizza untuk penghuni ruangan itu, meninggalkannya. 

Apakah mereka akan tertarik mengunyahnya? Waktuku sekarang adalah detik. Aku menekan tombol lift. Keliru atau benar, berhasil atau gagal rencana ini sekarang hanya soal detik. Aku akan memikirkan cara terbaik agar setengah lusin lebih anggota pasukan itu tertarik memakannya sepanjang lift bergerak naik.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Selasa, 07 Maret 2017

Renungan Untuk Pelaku Bisnis



Dulu Rasul, sahabat, dan pedagang-pedangan Arab lainnya kok bisa bergelimangan harta ya?

Harta mereka bukan lagi ratusan juta. Tapi miliaran, beberapa sahabat, contohnya Umar Bin Khattab dan Abdurahman Bin Auf bahkan tembus Triliunan.

Umar yg selama hidupnya hanya memiliki 2 potong baju, 1 cuci 1 pake bisa mewariskan 11 Triliun untuk ummat ketika beliau wafat.
Dikisahkan Abdurahman Bin Auf hartanya melebihi seluruh sahabat.

Ustman bin 'affan bahkan punya kebun dan sumur yg menjadi jariah nyatanya, sampai ada rekening yg terus terisi dan dananya di alokasi untuk infaq atas namanya hingga kini, padahal dirinya dan ahli warisnya sudah tidak ada ?

*Ini Harta lho, bukan Omzet.*

Padahal yang dijual juga nggak macam-macam.
Ada yang jual kain, ada yang jual madu, ada yang jual hewan ternak, ada yang jual hasil kebun.

Menariknya, mereka dulu nggak pakai ilmu Copywriting, Hipnowriting, covert Selling, dan ing ing lainnya.

*Kok bisa begitu?*

Ya, mungkin mereka nggak pakai ilmu itu karena mereka nggak jualan Online, hehe.

*Tapi serius. . . .*
Pencapaian bisnis Rasul dan Para Sahabat itu bukan pencapaian yang biasa.

Makin luar biasa lagi ketika mereka juga mencetak pencapaian Akhirat.

Di dunia lapang, di akhirat menang.

Siapa sih yang nggak ingin seperti itu?
Justru aneh kalau ada yang nggak pengin itu semua.

Apapun terjadi semua karena ijin Allah.

Lama merenungi, apakah strateginya, apakah amalnya, apakah managemen bisnisnya, apakah apakah. . . .

Akan banyak teori yang menjelaskan hal-hal di atas, dan mungkin Setiap orang berbeda-beda penafsirannya.

Tapi memang, ada yang dimiliki Rasul dan para sahabat yang tidak dimiliki banyak penjual.

Apakah itu?

salah satunya *"Akhlak"*

Saat berbisnis, Rasul akhlaknya terpuji, sahabat pun begitu.

*_Bisnis bukan hanya tentang strategi._*
*_Bisnis bukan hanya tentang jual beli._*
*_Bisnis juga butuh akhlak dan ilmu2 yg lainnya,_*

➖➖➖➖➖➖➖
*BISNIS* bukan masalah *UNTUNG RUGI* 
tapi masalah *SURGA NERAKA* 
➖➖➖➖➖➖➖
bisnis bukan hanya saja tentang dunia. 
bisnis juga bisa bernilai ibadah.

mari bersama membangun perniagaan yg untung dunia akhirat ...

I Love Monday Oleh Ippho Santosa



Kelar seminar di NTT dan NTB, saya bersama ibu jalan-jalan dulu ke Bukit Selong. Senin, insya Allah ke Pantai Pink. Terlepas dari itu, saya berharap Anda tidak termasuk dalam kelompok "I hate Monday."

Menurut British Medical Journal, serangan jantung meningkat sampai 20% pada hari Senin. Entah kenapa. Btw, berdasar survey saya dan tim selama ini, setidaknya ada lima penyebab mengapa orang cenderung berkeluh-kesah di kantor. 

Pertama, kurang dihargai perusahaan (secara materi dan non-materi). Kedua, tidak mencintai pekerjaan. Ketiga, tidak menyukai lingkungan kerja. Keempat, tidak memaknai kerja sebagai ibadah. Kelima, kurang bersabar juga kurang bersyukur. Dan menariknya, satu sebab saja tidak membuat orang serta-merta jadi tukang keluh.
Bukan di kantor saja, melainkan di mana saja, kita baiknya menghindari keluh-kesah. Karena memang merugikan. Benar-benar merugikan. Bukankah mengeluh itu bisa merusak pikiran, kesehatan, juga keberuntungan? Dan satu hal ini mesti Anda catat baik-baik, kalau Anda ingin bejo alias beruntung maka Anda harus menghindari sikap JEBOL. 

Lima huruf yang membentuk JEBOL ini adalah singkatan. Maksudnya Justify alias membenarkan diri sendiri, Excuse alias mencari-cari alasan, Blame alias menyalahkan orang lain, Ostrich alias tidak mau tahu, dan Lazy alias malas. Tak perlu dipikir-pikir lagi, hindari saja semuanya.
Misal, di kantor Anda memiliki atasan seperti si boss di film My Stupid Boss atau film Horrible Boss. Benar-benar menyebalkan. Apa saran saya? Yah, ubah. Kalau nggak bisa, pindah. Kalau nggak bisa juga, tetaplah bekerja dengan baik. Lha, kenapa? 

Begini. Sekiranya Anda bekerja dengan baik, maka:
-       Pengalaman Anda dan jam terbang Anda tetap bertambah
-       Relasi Anda dan nama baik Anda semakin terjaga
-       Berimbas pahala karena kerja dimaknai ibadah
-       Si boss malah kehilangan semuanya
-       Anda untung, si boss yang rugi
Sebisa-bisanya, hindari keluh-kesah. Karena sekali lagi, mengeluh itu merusak pikiran, kesehatan, juga keberuntungan. Sampai di sini saya pun berharap Anda termasuk dalam kelompok "I love Monday." Sekian dari saya, Ippho Santosa.

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 32 - Sandera yang Berharga

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------


“INJAK remnya, Tommi.” Opa yang duduk di sebelahku berseru, mengingatkan.

“Eh?” Aku menoleh, menelan ludah, sedikit gugup.

“Injak remnya, Tommi! Remnya!” Opa berseru lebih kencang.

“Sudah, Opa! Sudah kuinjak remnya!” aku balas berteriak, panik, mobil yang kukemudikan bukannya melambat, malah semakin cepat menuruni halaman belakang rumah.

“Remnya, Tommi, astaga, kau justru menginjak gasnya!” 

“Sudah kuinjak! Mobilnya tidak bisa berhenti! Eh, sebenarnya remnya yang mana, Opa?”

“Yang tengah, Tommi! Injak remnya!” Opa berseru panik, dengan cepat menyambar kemudi, berusaha membanting mobil ke kanan.

Terlambat, mobil melaju terlalu kencang, sedetik sudah menghantam gundukan taman. Mobil kodok klasik itu seperti kodok sungguhan melompat. Aku terenyak, terbanting, kepalaku membentur kemudi, suara klakson terdengar nyaring tidak sengaja terkena dahiku. Opa yang berusaha membantu mengendalikan mobil, mengaduh tertahan, siku kiriku menghantam wajahnya. Urusan semakin kapiran, lepas gundukan tanah, menerabas barisan bunga bougenvile yang segera porak-poranda, mobil tidak terkendali terus meluncur ke bibir waduk.

Dan sebelum kami bisa melakukan apa pun, mobil berdebum loncat ke dalam air, dengan cepat tenggelam. Gelembung udara menyeruak permukaan air.

“Keluar, Tommi! Cepat keluar dari mobil!” Opa menggerutu, berteriak---dengan masih meringis menahan sakit dan kaget. Opa berusaha membuka daun pintu, terkunci, macet.

Aku lebih cepat, sudah mendorong pintu mobil sebelah kanan, mobil sudah separuh tenggelam di sisiku, segera berenang ke sebelah Opa, membantunya menjebol pintu.

Adalah dua menit berkutat, Opa berhasil keluar, aku menyeretnya ke tepi waduk.

“Dasar anak ceroboh, kau hampir membuat kita celaka. Untuk kesekian kalinya.” Opa bersungut-sungut, badannya basah kuyup, napasnya tersengal.

Aku tertawa, membungkuk, memegangi pahaku yang nyeri terhantam entahlah tadi.

“Kau jangan pernah memintaku mengajari mengemudi lagi.” 

“Ini seru, Opa. Hebat.”

“Omong kosong, kau membuat mobil klasikku tenggelam di waduk.” Opa berseru sebal

“Namanya juga kodok, Opa.” Aku menyengir.

Opa mengacungkan tinju, marah.

“Kemarin lusa kau menabrakkan speedboat, kemarinnya lagi kau mematahkan kail kesayanganku, belum terhitung kaca jendela rumah yang pecah, anjungan dermaga somplak, atap genteng pecah. Aku tidak mau lagi mengajarimu apa pun. Kau sama seperti papamu dulu. Perusak nomor satu.” Opa mendengus, mendorong pelan bahuku, menyuruh menyingkir, lantas melangkah ke beranda rumah.
Aku mengibaskan rambut, tertawa lagi.

Tetapi Opa bergurau. Setelah ditertawakan Tante yang hari itu juga datang ke rumah peristirahatan, kami berganti baju kering, menghabiskan kue lezat buatan Tante di beranda belakang, Opa sudah lupa urusan mobil kodok itu. Staf rumah peristirahatan mengontak pemilik alat berat. Belalai pengeduk tanah itu tiga jam setelah kejadian sudah terjulur ke waduk, beberapa penyelam mengikat mobil di dalam air, berusaha menariknya keluar. 

“Kau besok mau melakukan apa lagi, Tommi?” Opa bertanya. Kami asyik menonton proses evakuasi mobil kodok.

“Belajar mengemudi lagi, Opa.”

“Astaga!” Opa menepuk jidatnya. “Tidak mau. Kau jangankan menyentuh mobilku, berada dekat dengan garasi saja tidak boleh, setidaknya hingga berusia delapan belas.”

“Kau membantu Tante masak saja, Tommi. Akan kuajari membuat kue-kue. Siapa tahu berguna saat kau kembali ke sekolah.” Tante ikut bicara, duduk di salah satu kursi santai, menyeduh teh hijau.

Opa terkekeh. “Ide bagus, lebih baik kau belajar memasak saja. Risikonya lebih kecil.”

Aku memonyongkan bibir. “Bukankah Opa sudah berjanji akan mengajariku apa saja?”

“Enak saja, janji itu batal dengan sendirinya kalau kau merusak sesuatu.” Opa melambaikan tangan, menunjuk mobil kodoknya yang mulai ditarik keluar dari permukaan waduk. Orang-orang berseru memberi aba-aba, belalai penciduk tanah itu sedikit bergetar.

Kami kembali asyik menonton.

Tetapi lagi-lagi tentu saja Opa bergurau, esok pagi-pagi kami sudah asyik belajar menembak.

Opa meminjamiku pistol tua, memberikan penutup telinga, lantas kami sibuk dar-der-dor di halaman kanan rumah yang disulap jadi tempat latihan tembak dadakan. 

Itu untuk kedua kalinya aku berkunjung ke rumah peristirahatan Opa, liburan sekolah. Usiaku belum genap lima belas. Opa semangat menyusun jadwal agar aku betah, membuatku melupakan banyak hal, apalagi untuk sekadar bertanya tentang kejadian masa lalu. Aku tidak keberatan, lagi pula aku tidak tertarik membahas kenangan buruk itu.

“Dari mana Opa belajar menembak?” Kami sedang beristirahat, duduk di dermaga, betis terendam di dinginnya air waduk.

“Kalau kau bertanya demikian, berarti kau mau bilang orang tua ini termasuk jago menembak, Tommi.” Opa tertawa senang.

Aku menyengir.

“Otodidak, Tommi. Tidak ada yang mengajari orang tua ini.” 

“Mengemudi speed? Merawat mobil?” Aku menguap, berusaha mengisi sesuatu dengan percakapan.
“Itu juga otodidak, Tommi. Sama seperti bermain musik, meskipun dalam bidang itu Opa tidak berbakat sama sekali.” Opa tertawa.

“Berbisnis?”

“Ya, sama seperti berbisnis. Mana ada sekolah bisnis pada zamanku masih muda. Aku lulus sekolah rakyat pun tidak. Semuanya dipelajari sendiri. Dicoba, gagal. Dicoba, gagal lagi. Terus saja kaulakukan. Lama-lama kau tahu sendiri bagaimana seharusnya trik terbaik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Itu adalah sekolah terbaik. Apa kata bijak itu? Pengalaman adalah guru terbaik.”

Aku mengangguk. “Aku akan menjadi otodidak seperti, Opa.”

Opa mengacak rambutku. “Itu bagus. Sepanjang kau punya semangat untuk itu, kau bisa ahli dalam banyak hal tanpa harus duduk di kelasnya.”

Kami diam sejenak, sebuah perahu nelayan melintas, beberapa penumpangnya melambai. Opa balas melambai.

“Hanya saja, esok lusa, dunia akan berubah banyak, Tommi.” Opa menatap hamparan permukaan waduk yang kembali lengang setelah perahu tadi pergi, kabut turun membungkus pebukitan.

“Hari ini, misalnya, semua pebisnis seperti Opa memilih hidup susah untuk mengumpulkan modal. Menahan diri untuk belanja, agar tabungan cukup untuk memperbesar bisnis, bersabar, konsisten, hati-hati. Esok lusa, orang-orang lebih memilih meminjam uang di bank, menerbitkan surat utang, atau jenis utang-utang lainnya. Mereka tidak sabaran dan mengambil risiko. Saat mereka gagal membayar utang, mereka akan menutupnya dengan pinjaman yang lebih besar.”

Aku mengangguk---meski belum mengerti kalimat Opa. Aku baru tahu saat mengambil kuliah, di kelas-kelas manajemen keuangan modern, kalian akan dicekoki dengan dogma: Meminjam lebih baik daripada mengeluarkan modal sendiri. Secara teoretis, “pengungkitnya” lebih besar.

“Hari ini, misalnya juga, semua pebisnis hanya mengurus preman-preman, pungutan-pungutan dari pejabat rendahan, tikus-tikus busuk kelas bawah, makelar murahan. Esok lusa, bahkan anggota dewan terhormat menjadi calo, tidak beda dengan calo tiket di stasiun kereta. Pejabat tinggi menjadi penghubung, dan tidak terhitung aparat keamanan yang seharusnya melindungi, siap menggebuk bisnis kita jika tidak mendapat bagian.”

Aku lagi-lagi hanya mengangguk.

“Nah, semoga kalau kau nanti otodidak, kau akan lebih hebat dibanding Opa. Situasi kau berubah, masalah kau juga berubah. Dicoba, gagal, dicoba lagi, gagal lagi, jangan pernah putus asa, mengeluh, apalagi berhenti dan melangkah mundur. Kau mewarisi darah seorang perantau, mewarisi tabiat seorang pejuang tangguh, Tommi. Tidak terbayangkan, ribuan kilometer opamu ini menaiki perahu kayu tua, bocor....”

“Tante memanggil kita,” aku memotong kalimat Opa.

“Eh?” Opa menoleh ke beranda belakang, dia tidak mendengar apa pun.

“Opa tidak mendengar suara Tante?”

Opa menggeleng, tidak mengerti.

“Kata Tante, makan siang sudah siap. Tommi duluan.” Aku sudah lompat berdiri. Sebelum Opa menyadarinya, aku sudah berlari-lari kecil melintasi dermaga. Kakiku yang basah membentuk barisan jejak telapak kaki.

Opa menggerutu, meneriaki dasar anak tidak tahu sopan santun.

Aku tertawa, sudah mendorong pintu belakang. Sepagi tadi saja, Opa sudah dua kali bercerita tentang perahu nelayan bocor itu. Tiga kali bahkan belum tengah hari, itu berlebihan.


***



Opa benar.

Tanpa kita sadari, dalam hidup ini, potongan-potongan kecil menjadi tempat kita belajar sesuatu dengan efektif. Misalnya, anak kecil belajar mengendarai sepeda, hanya karena teman bermainnya membawa sepeda, dan dia iseng mencoba, orangtuanya terpesona saat tahu anaknya sudah bisa mengendarai sepeda. Dalam kasus lebih ekstrem, anak kecil usia tiga-empat tahun dibiarkan sendirian menonton acara televisi yang mengajari membaca, dan dia fokus memperhatikan---entah bagaimana konsentrasi itu datang, orangtuanya terpesona saat tahu anaknya bisa membaca tanpa pernah diajari.

Ada banyak momen-momen spesial ketika kita belajar sesuatu. Termasuk saat kita sudah remaja atau tumbuh dewasa. Kata Opa, melakukan perjalanan, bertemu dengan banyak orang, membuka diri, mengamati, mencoba sendiri, memikirkan banyak hal, adalah cara tercepat belajar. Kau bisa jadi tukang kayu yang baik jika berhari-hari mengunjungi lapak tukang kayu yang sedang sibuk membuat meja, kursi, pintu, dan sebagainya. Kau juga bisa menjadi tukang las, tukang cat, pembalap, penembak, penjahat, atau apapun jika kau menghabiskan waktu bersama orang-orang dengan profesi itu. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadarinya, menghabiskan hari dengan rutinitas itu-itu saja tapi pengetahuannya tidak berkembang. Bagaimana mungkin, misalnya, kau setiap hari menumpang kereta, tapi kau tidak pernah tahu bentuk ruangan masinis, Opa terkekeh, “Kalau kau otodidak yang baik, kau bahkan sudah bisa mengemudikan kereta, Tommi.”

Aku belajar banyak hal dari kunjungan singkat ke rumah peristirahatan itu setiap liburan sekolah. Tidak sempurna otodidak, Opa mengajariku dengan cara uniknya. Apa saja, termasuk keahlian kecil yang kadang buat apa pula kupelajari.

“Esok lusa, kau akan tahu apa gunanya, Tommi.” 

Aku mengangguk, aku selalu percaya kalimat Opa.

Dua puluh tahun berlalu, hari ini, di lobi parkiran gedung kementerian yang ramai, setelah menemui menteri yang kukuh itu, berlari-lari kecil bersama Julia, kalimat itu menemukan konteksnya.

Telepon genggamku berbunyi. Langkah kaki melamban. Dari layar telepon genggam aku tahu Maggie yang menelepon.

“Hallo, Maggie, cepat sekali kau sudah meneleponku? Kau sudah di kantor? Tiketnya sudah siap? Atau ada sesuatu yang hendak kaulaporkan.” 

“Halo, Thomas.”

Itu jelas bukan suara Maggie. Langkah kakiku sempurna terhenti.

“Sepertinya kami terlalu meremehkanmu.” Tertawa fals.

Julia hampir menabrakku, menggerutu, wajah sebalnya bertanya, siapa yang menelepon.

“Kau punya waktu lima belas menit, Thomas. Menyerahkan diri. Kami menunggu di kantormu yang mewah ini. Atau stafmu yang begitu cekatan ini esok lusa sudah bergabung dengan penghuni penjara perempuan. Ah, itu tidak seru, bagaimana kalau dengan sedikit intrik licik, kujebloskan saja ke penjara laki-laki, bagian tahanan khusus untuk para penjahat, pembunuh, dan pengedar obat-obatan terlarang. Ide bagus, bukan?”

Aku membeku.



*bersambung

*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.

Jangan Fokus Hanya Pada Uang!



Hai,

Ada begitu banyak orang yang saya temui, memiliki sebuah penyakit yang sama. Yaitu gila dengan HARTA. Mereka fokus pada uang, uang, dan uang sampai lupa segalanya #bahaya

Padahal uang hanyalah sebuah alat tukar, sekali lagi hanya sebuah alat tukar. Yang memberi arti adalah sang pemilik uang.

Jika hanya uang yang dikejar selama hidup, maka keberkahan tidak akan datang.

Ada begitu banyak orang kaya yang miskin hatinya... jauh dari Tuhan & orang disekitarnya.

Pastikan ini jadi pengingat diri, agar kita bisa selalu berkaca dan memanfaatkan hidup sebaik mungkin :)


Hidup hanya sekali, 
Beri manfaat berkali - kali
Mati itu pasti,
Semua yang ada di dunia hanyalah titipan dan tak dibawa mati.
Mengejar mimpi boleh saja,
Asal tak lupa dengan daratan.

Jadi apa yang lebih baik?
Kaya & bermanfaat !

Share Jika Bermanfaat Ya !

Mau Makan Gengsi?



Kalau belum sanggup beli rumah, ngontrak aja dulu ! Gak usah gengsi !

Kalau belum sanggup beli mobil, naik motor aja dulu ! Gak usah gengsi !

Jangan maksakan diri sendiri supaya bisa dipandang orang lain, gak usah pakai GENGSI udah ga zaman & nyusahin diri sendiri !

Saya salut sama orang - orang yang selalu berproses & tahan banting. Ga perlu dengerin omongan orang sampai bela - belain buat beli ini itu dan terlihat KAYA

Cukupkan dulu saja untuk keluarga & bisnis.

Apa yang kita punya saat ini tak dibawa mati, jangan sampai kita tergila dengan harta dunia, karena semua itu hanya titipan ! Ingat hanya titipan !

Sebagai informasi, sampai saat ini kantor pertama & kedua juga saya masih sewa!

Saya masih di gaji di perusahaan saya setiap bulannya, profit setiap bulan masih digunakan untuk cashflow bisnis. Pelan - pelan saya sudah bisa beli asset - asset seperti mobil, mesin, biaya operasional untuk puluhan karyawan saya dan lain - lain. Itu bukan untuk saya, tapi untuk bisnis saya 🙂 Kaya atau miskin itu hanya soal MINDSET

Saat mendapatkan uang, ada orang yang memutuskan untuk berfoya - foya menghabiskan uang, ada juga yang memanfaatkan uang untuk berinvestasi & berbagi untuk orang banyak

Kaya itu juga bukan soal seberapa banyak harta yang dimiliki, tetapi tentang seberapa banyak harta yang didistribusikan

Saat penghasilan terus bertambah, kebutuhan harus tetap sama !

Tidak punya uang hanyalah keadaan sementara, kita masih punya tenaga & waktu untuk mendapatkannya

Share Jika Bermanfaat Ya !

Senin, 06 Maret 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Epside 31 - Prinsip dan Keputusan


Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------

RUANGAN menteri, untuk seseorang yang disebut salah satu wanita paling perkasa di Asia menurut majalah terkemuka itu, terlihat sederhana. Aku dan Julia (yang masih berusaha memulihkan tampang masam karena dipanggil Nenek Lampir) terus melangkah menuju meja kerjanya. Menteri sudah berdiri sejak melihat kami masuk. Wajahnya datar, tanpa senyum---siapa pula yang bisa tersenyum dengan gejolak krisis dunia.

“Selamat pagi.” Dia lebih dulu menjulurkan tangan, sikap khas seorang gentleman---meski jelas dia seorang woman.

Aku mengangguk takzim, berjabat tangan, memperkenalkan diri. Julia menyusul kemudian.

“Maaf, kami terlambat beberapa detik,” aku basa-basi.

“Tidak masalah,” Menteri mengangguk, berkata cepat dengan intonasi tegasnya, “walaupun terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya terlambat beberapa detik dengan terlambat beberapa jam, bukan. Tetapi lupakan saja, silakan duduk.” Menteri menunjuk sofa simpel berwarna gelap di ruangannya. Meja kecil di depan sofa dipenuhi tumpukan berkas.

Aku menelan ludah tanggung, benar-benar tipikal pejabat tinggi yang suka berterus terang. 
Julia melirikku---lirikan yang jelas menyalahkanku.

Telepon di meja kerjanya berbunyi---menyelamatkan situasi kebas barusan. Menteri mengangguk kepada kami, meminta izin sejenak, dan sebelum kami balas mengangguk dia sudah melangkah cepat ke meja, mengangkat gagang telepon, dan sekejap sudah terlibat percakapan seru berbahasa Inggris mengenai situasi terakhir krisis subprime mortgage di luar sana. Aku sungguh berusaha tidak menguping---karena meskipun aku seorang bedebah, itu melanggar etika mana pun, tetapi Julia dengan senang hati menulis beberapa kalimat penting yang terdengar lantang. Aku menyikut Julia. Dia mengangkat bahu, memasang wajah tanpa dosa.

“Itu dari salah satu analis dana moneter internasional, IMF,” Ibu Menteri sudah kembali, beranjak duduk di hadapan kami, “kolega dekat, dia berbaik hati memberikan briefing kabar terbaru. Oh iya, tidak masalah bukan kalau wawancara kita diselingi pekerjaan, satu-dua telepon? Susah sekali menyisihkan waktu tiga puluh menit dalam situasi seperti sekarang.”

Aku dan Julia (tentulah) mengangguk---kompak, berbarengan. 

“Ini situasi rumit, kalian lebih dari tahu. Tadi malam ketika Shambazy menelepon, meminta jadwal audiensi mendadak, saya sebenarnya keberatan. Sayangnya, saya tidak pernah bisa menolak permintaan Shambaz. Dia teman baik sejak kuliah, ketua senat kami.” 

“Aku baru tahu kalau Pak Shambaz pernah jadi ketua senat,” Julia memotong sopan.

Ibu Menteri memperbaiki posisi duduk. “Dia bukan sekadar ketua senat. Tetapi Shambazy tidak pernah tertarik bekerja menjadi birokrat, lebih memilih berkarier menjadi wartawan, lebih nyaman dan tenang mengomentari banyak hal. Tidur lebih nyenyak. Menjadi menteri yang berdedikasi penuh tidak pernah sesederhana seperti masa lalu. Stres, tekanan politik, kritik, hujatan, sorotan media massa, itu makanan sehari-hari.”

“Tetapi Ibu terlihat selalu segar.” Julia memuji---basa-basi yang keliru.

Ibu Menteri menanggapi pujian itu dengan tersenyum tipis. “Kau tidak akan bertanya tentang trik tampil segar dan cantik seperti wartawan lain dalam jadwal wawancara sepenting ini, bukan?”
“Eh?” Julia menelan ludah, kikuk. 

“Tentu tidak, Bu.” Aku tertawa sopan, menyikut Julia agar diam, bergegas memperbaiki situasi. Untuk seseorang yang amat berpengaruh, suka berbicara lugas, percakapan basa-basi bisa merusak. “Tetapi karena rekan kerjaku sudah telanjur, bolehlah kutambahi satu lagi pemanis awal pembicaraan, aku pikir Ibu dulu pastilah seorang pemain bola kasti yang pintar berkelit.” 

“Bola kasti?” Menteri bertanya balik.

“Ya, bola kasti. Di bawah ada puluhan wartawan dengan wajah tidak sabaran menunggu Ibu sejak tadi pagi. Nah, tidak ada satu pun di antara mereka yang punya ide kalau ternyata yang ditunggu sudah berada di ruangan kerjanya. Itu pastilah trik berkelit yang hebat seperti pemain bola kasti yang berlari menghindari terkena bola, bukan.” Aku memasang wajah sungguh-sungguh.

Ibu Menteri sejenak diam, lantas tertawa renyah. “Bola kasti, astaga, itu sungguh pemanis awal percakapan yang orisinil. Kau jelas bukan wartawan kebanyakan. Siapa namamu tadi?”

“Thomas, Bu.” Aku tersenyum.

“Ya, Thomas, itu mudah saja kalau kau sering diburu wartawan, tidak perlu trik istimewa. Ada beberapa pintu masuk di gedung ini, kau tinggal parkir mobil di luar, berjalan kaki seperti orang kebanyakan, menyelinap lewat pintu belakang, beres. Dan ngomong-ngomong soal bola kasti, waktu SD, saya pemain yang buruk sekali, Thomas. Berkali-kali kena timpuk bola, menjadi sasaran teman lelaki yang lebih besar. Hei, siapa pula di antara kita yang tidak pernah main bola kasti sewaktu kecil? Padahal bolanya itu untuk bermain tenis lapangan, bukan.”

Kami menghabiskan lima menit pertama untuk nostalgia. Sepertinya itu menjadi selingan yang menarik bagi Ibu Menteri dibanding dipuji terlihat selalu cantik dan segar. 

“Rapat komite akan diadakan sore ini, segera setelah semua anggotanya berkumpul. Kalian wartawan pertama yang mendengar konfirmasi ini.” Ibu Menteri menjawab pendek pertanyaan pertama Julia. Wawancara telah dimulai, lima menit kemudian.

“Belum tahu. Rapat akan dilakukan maraton sepanjang malam hingga keputusan diambil. Ini boleh jadi salah satu proses pengambilan keputusan yang melelahkan.” Jawaban atas pertanyaan kedua Julia.

“Seandainya Bank Semesta tidak diselamatkan, apakah Pemerintah sudah siap mengatasi?” 

“Saya tidak suka berandai-andai,” Ibu Menteri memotong kalimat Julia, sambil memperbaiki posisi duduknya, “bahkan keputusan mengenai Bank itu saja belum diambil.”

“Tetapi situasi terburuk bisa terjadi, bukan? Mengingat situasi di luar semakin buruk menyusul tumbangnya beberapa lembaga keuangan besar,” Julia mendesak sopan.

“Soal situasi di luar semakin memburuk, itu benar, terlepas dari kau sepertinya ikut menguping briefing dari staf dana moneter internasional tadi. Tetapi perekonomian kita berbeda dengan mereka. Catat ini, fundamental perekonomian kita jauh lebih tangguh, baik dibandingkan dengan negara luar, maupun dibanding saat krisis menghantam kita satu dekade silam. Pertumbuhan ekonomi sesuai target, surplus neraca perdagangan mencatatkan rekor, sistem berjalan stabil, kebijakan fiskal optimal, semua terkendali, semua lebih mature.”

“Tetapi kemungkinan rush, dampak sistemis yang dikhawatirkan media massa dan pengamat ekonomi dua hari terakhir? Bukankah itu sinyal berbahaya.”

“Sepertinya tidak ya, situasi kita jauh berbeda.” Ibu Menteri menjawab ringan.

“Bukankah indeks saham tumbang seminggu terakhir?”

“Itu masih reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ingin bergegas melepas sahamnya? Apalagi sebagian besar pemodal di bursa datang dari dana asing. Mereka cepat pergi dalam situasi ini, menjual rugi. Tetapi pemodal lokal kita masih wait and see, masih membeli saham.”

“Atau nilai tukar yang bergerak cepat, terus melemah?” Julia tidak mudah mengalah.

“Itu juga reaksi normal. Semua mata uang dunia bergerak fluktuatif. Pihak bank sentral punya penjelasan lebih baik. Tetapi menurut saya tetap saja situasi masih terkendali.”

“Jika demikian, apakah Ibu Menteri memilih membiarkan Bank Semesta ditutup?” Aku akhirnya ikut bertanya, tidak sabaran dengan prosesi wawancara Julia, saatnya langsung ke topik paling penting.

“Rapat komite baru dimulai nanti sore, Thomas.” Ibu Menteri melambaikan tangan, gerakan khasnya. “Sudah kukatakan dua kali. Kau termasuk pelupa untuk orang semuda kau.”

“Ibu benar, baru nanti sore. Tetapi kita terkadang telah mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu dibuat. Rapat, diskusi, dengar pendapat, itu terkadang hanya proses mencari argumen, alasan sebuah keputusan, bukan untuk mengambil keputusan itu sendiri,” aku berkata dengan intonasi datar terkendali, menatap lurus ke arah wajah Menteri. 

Ruangan menjadi lengang sejenak.

Ibu Menteri balas menatapku, tersenyum tipis. “Kau memang tidak seperti wartawan kebanyakan, Thomas.”

“Apakah Ibu sudah memutuskan?” Aku tersenyum, memastikan.

“Baiklah. Tetapi bagian yang ini off the record, pastikan kalian tidak mengutipnya dalam berita. Kau bertanya apakah saya secara personal memilih membiarkan Bank Semesta ditutup? Justru saya akan bertanya balik, apa untungnya bank itu diselamatkan? Dalam teori ekonomi modern, pemberian subsidi, penetapan harga tertentu, pengenaan kebijakan fiskal untuk melindungi sebuah industri, dan sebagainya, adalah merupakan pilihan terakhir. Kita selalu membiarkan pasar bekerja sendiri, apa adanya. Banyak orang bilang saya penganut neolib, bukan? Kaki tangan kapitalis. Terserah. Tetapi mereka lupa, mengendalikan perekonomian sebuah negara besar membutuhkan disiplin tinggi, konsistensi, teori, serta pengetahuan yang memadai. Kita tidak sedang bicara di lapak becek, sambil tertawa santai. Saya bertanggung jawab penuh memastikan perekonomian negara dengan penduduk 240 juta orang berjalan baik.

“Apa untungnya menalangi Bank Semesta bagi Pemerintah? Bukan sekadar angka dana talangan dua triliun--pihak bank sentral baru saja merevisi angkanya--- bukan pula soal uang itu lebih baik diberikan untuk membangun ribuan sekolah, misalnya, bukan pula tentang kabar kalau pemilik bank melakukan kejahatan dan manipulasi keuangan---meskipun di laporan bank sentral tidak disebutkan, tetapi lebih karena apakah keputusan menyelamatkan Bank Semesta sesuai dengan disiplin, konsistensi kebijakan keuangan Pemerintah selama ini. Bank itu kolaps, berarti pasar telah melakukan seleksi alam. Selesai. Kalian seharusnya paham sekali, ada prinsip-prinsip dalam pengelolaan perekonomian nasional yang harus dipegang teguh. Jika tidak, omong kosong bicara good governance, reformasi birokrasi, dan sebagainya itu.”

Aku menelan ludah. Sejak awal aku sudah tahu, jika keputusan urusan ini terserah Ibu Menteri, Bank Semesta tidak akan pernah membuka kantornya lagi, tidak ada matahari esok untuk bank milik Om Liem. Pemberian dana talangan di luar kelaziman yang dipahaminya.

“Nah, apakah akan terjadi rush besar-besaran Senin besok jika Bank Semesta diumumkan pailit? Bahaya dampak sistemis terjadi? Sistem keuangan nasional ikut kolaps? Itu sepertinya harus mendengarkan pendapat anggota komite lainnya. Kau boleh jadi benar, terkadang keputusan telah dibuat sebelum kita memutuskan. Tetapi rapat komite nanti sore jelas adalah proses pengambilan keputusan, bukan mencari argumen. Sejauh ini, saya tidak akan mendahului proses itu dengan preferensi pribadi.” Menteri untuk ketiga kalinya memperbaiki posisi duduk.

“Bagaimana dengan nasabah besar yang harus kehilangan uang kalau Bank Semesta ditutup?” Julia bertanya setelah lengang sejenak.

“Itu risiko mereka. Semua orang seharusnya tahu, lembaga penjamin simpanan kita hanya menjamin tabungan hingga batas tertentu.” 

“Ada ratusan nasabah....“ 

“Tentu saja akan ada ratusan, bahkan ribuan nasabah yang kehilangan uang, tapi bukan nasabah kecil yang dijamin Pemerintah. Ada banyak hal yang harus kami cemaskan, dan jelas itu bukan nasabah kelas kakap, apalagi nasib pemilik bank yang bangkrut,” Menteri menjawab datar.

Ruangan lengang lagi sejenak. Sudah hampir dua puluh menit berlalu.

Baiklah, sudah saatnya aku mengambil dokumen yang tadi diantarkan Maggie. Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop cokelat, menyodorkan pada Menteri.

“Apakah Ibu pernah membaca data ini dalam laporan-laporan tentang Bank Semesta.”

“Ini apa?” Ibu Menteri menerimanya.

“Daftar deposito perusahaan negara di Bank Semesta,” aku menjawab pendek, membiarkan sebentar Menteri melihat cepat dokumen itu.

“Apakah ini valid?” Terdengar helaan napas samar di balik pertanyaan Menteri---meski wajahnya tetap berusaha tenang dan datar.

“Lebih dari valid, aku mendapatkannya dari pihak internal Bank Semesta.” Aku menjawab lugas. “Seperti yang Ibu lihat sendiri, setidaknya ada delapan perusahaan negara yang menaruh deposito bernilai ratusan miliar di Bank Semesta. Nah, tadi Ibu bertanya padaku, apa untungnya bagi Pemerintah menalangi Bank Semesta? Ibu bisa menyimpulkannya sendiri.”

Ruangan besar itu kembali lengang. Aku sengaja memasang wajah menunggu komentarnya setelah melihat dokumen itu. Boleh saja wanita tangguh ini memilih disiplin dan konsisten, memegang teguh prinsip-prinsipnya, tapi dengan dokumen ini, situasinya hanya menjurus dua hal buruk. Biarkan Bank Semesta pailit, maka seluruh deposito delapan perusahaan negara bernilai nyaris satu triliun akan hangus. Kerugian itu akan dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan negara, tidak bisa ditutup-tutupi. Maka dengan cepat, media massa memburu penjelasan. Siapa yang telah memberikan otorisasi menyimpan deposito di bank bermasalah, siapa yang harus bertanggung jawab. Lingkaran setan masalah ini sama runyamnya dengan pilihan menyelamatkan Bank Semesta.

“Saya tahu, cepat atau lambat urusan ini tidak pernah sesederhana itu.” Kali ini aku mendengar jelas helaan napas Menteri. “Saya tidak menemukan data ini dalam laporan bank sentral. Astaga, banyak sekali uang perusahaan negara disimpan di sana.”

Ruangan kembali lengang.

“Saya minta maaf kalau dokumen itu menambah tekanan baru bagi Ibu dalam mengambil keputusan.” Aku berkata sesopan mungkin, berlagak ikut simpati.

“Terima kasih, Thomas. Tanpa dokumen ini pun, cepat atau lambat situasinya semakin rumit.” Menteri perlahan meletakkan selembar kertas itu di atas meja. “Sayangnya waktu wawancara kita telah habis, ada banyak pekerjaan yang harus saya tuntaskan.”

Aku dan Julia mengangguk.

Menteri berdiri. “Saya antar kalian ke pintu keluar.”

Kami melangkah menuju pintu depan.

“Salam buat Shambazy.” Menteri berjabat tangan dengan Julia.

“Dan kau, Thomas, kau tidak cocok menjadi wartawan. Kau bukan tipikal komentator dan penonton seperti Shambaz, kau adalah pemain, pemain kasti yang hebat, tukang timpuk anak-anak perempuan yang lebih kecil.” Menteri menyalamiku, tertawa.

Aku ikut tertawa sopan.

Pertemuan itu telah selesai.


***



“Dari mana kau dapat ide tentang bola kasti itu?” Julia bertanya saat lift meluncur turun.

“Maggie. Dia menuliskan hasil googling-nya dalam kertas lain di dokumen yang dia antar tadi. Berguna, bukan? Detail superkecil seperti itu.”

“Maggie? Stafmu yang memanggil aku Nenek Lampir?” Wajah Julia terlipat.

Aku tertawa, melirik pergelangan tangan, pukul 09.45. Aku masih punya waktu tiga jam sebelum jadwal penerbangan nanti sore.

“Kau sekarang ke mana?” Julia bertanya lagi.

“Beberapa pertemuan kecil lagi sebelum nanti sore berselancar di Bali.”

“Berselancar di Bali?”

Aku mengangguk, menatap angka-angka penunjuk lantai di dinding lift. “Kau mau ikut?”

Alis Julia terangkat. “Dalam urusan seperti ini? Kau bergurau atau serius, Thom?”

“Mengajakmu berselancar ke Bali? Tentu saja aku serius, Julia. Itu bisa jadi pengantar yang baik sebelum kita makan malam bersama di tepi pantai misalnya.”

Julia melotot sebal.

Aku tertawa. “Aku harus menemui seseorang di Denpasar pukul empat sore. Itu pertemuan paling penting dari semua skenario, Julia. Kau seharusnya bisa menyimpulkan sendiri dari percakapan tadi, walaupun aku menyerahkan dokumen yang lebih mengenaskan tentang deposito perusahaan negara di Bank Semesta, wanita tangguh itu boleh jadi tetap akan memilih disiplin dan konsistensinya. Dia kukuh. Dia tidak akan menalangi Bank Semesta sepeser pun. Aku membutuhkan bidak lain untuk memastikan keputusan rapat komite sebaliknya.”

“Kau akan bertemu siapa di Bali?” Julia bertanya.

Pintu lift sudah terbuka sebelum aku sempat menjawab. Lobi gedung langsung terlihat ramai dan bising. Pejabat tinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan (yang kemarin sore satu pesawat denganku) telah tiba dari luar kota, dikerubuti wartawan.

“Cepat, Julia.” Aku sudah melangkah cepat, berusaha menyelinap pergi.



*bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.