Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
Aku berdiri dengan kaki goyah. Belum sempat memasang kuda-kuda, Rudi sudah meninju perutku. Aku melenguh tertahan, kembali terbanting duduk.
“Kau pikir kau siapa berani-beraninya melawan, hah? Jagoan?” Rudi membentakku.
Belum puas dia, badanku yang bertumpukan lutut ditarik lagi. Setengah
berdiri, tinju Rudi kembali menghantam perutku. Kali ini aku terkapar di
lantai.
Hujan semakin menggila di luar.
Julia berteriak-teriak
menyuruh berhenti. Om Liem juga berseru, memohon. Opa menelan ludah.
Enam polisi lain justru menyemangati Rudi, mengepalkan tinju. “Habisi
dia, Bos”, “Hajar terus, Bos.” Seperti sedang menonton gulat di layar
kaca.
Tetapi dua tinju terakhir Rudi tipu-tipu. Itu tidak sungguhan.
Kami adalah petarung sejati, mudah saja berpura-pura. Beda halnya
dengan petarung bohong-bohongan di layar kaca, mereka pasti kesulitan
disuruh berkelahi benaran. Untuk lebih meyakinkan lagi, Rudi menyambar
kursi rotan yang terpelanting, lantas dengan wajah merah, berseru kalap,
menghantamkannya ke punggungku. Kursi rotan patah dua.
Julia menjerit, menutup mata. Om Liem kehabisan kata. Opa tertunduk.
Salah satu polisi sebaliknya, berseru antusias. “Dahsyat, Bos.”
Petir menyambar di luar. Lengang sejenak sebelum gemeretuk guntur
panjang. Rudi merapikan rambut, melemparkan sisa kursi rotan, menatap
tubuhku yang tergeletak di lantai, lantas berteriak pada dua anak
buahnya. “Buat dia siuman kembali, bersihkan darah di hidungnya. X2
tidak pantas melihat sasaran kita seperti ini. Buat dia lebih rapi.”
Tawa senang penonton dilipat, dua polisi bergegas mendekat, meletakkan
senjata, membalik badanku yang terkulai, mengambil kunci, membuka borgol
tanganku. Inilah permainan yang Rudi maksudkan. Kursi rotan tadi jelas
tidak sempurna menghantam punggungku, ujungnya yang lebih dulu mengenai
lantai. Itu trik biasa di dunia gulat layar kaca. Seolah-olah kena
telak, tapi tidak. Seolah-olah kursinya penyok, nyatanya tipu. Lantas
pegulatnya akan pura-pura terkapar.
Aku jelas tidak pingsan.
Aku
bergerak cepat setelah borgolku lepas, tanganku meraih senjata di
lantai, hanya dalam hitungan sepersekian detik, memukulkannya ke dagu
salah satu polisi yang jongkok hendak membersihkan darah di wajahku.
Polisi itu terkapar sungguhan, satu giginya lepas, temannya yang
terkesiap tidak sempat bereaksi, aku lebih dulu meraih kerah bajunya,
menariknya mundur, lantas mengacungkan senjata persis ke kepalanya.
“Jatuhkan senjata kalian! Jatuhkan!” aku berseru serak. “Atau aku pecahkan kepala teman kalian ini.”
Empat polisi lain mematung. Gerakan tangan mereka yang siap menembakku tertahan. Menoleh pada Rudi, meminta pendapat komandan.
“Aku tidak main-main, Bedebah! Aku serius!” Aku berseru galak, tanganku
menarik kerah seragam polisi yang kusandera kencang-kencang. Dia
tercekik, tersengal satu-dua.
Rudi (seolah) menghela napas tegang,
berhitung dengan situasi, lantas melambaikan tangan kepada empat anak
buahnya. “Jatuhkan senjata kalian.”
Mereka menurut, perlahan meletakkan senjata di lantai.
“Kau, kemari! Ya, kau!” Aku meneriaki salah satu polisi yang berdiri
hati-hati, menatap penuh perhitungan. “Lepaskan borgol mereka!” Aku
menunjuk Opa, Om Liem, dan Julia.
“Alangkah bebalnya kau.” Aku melotot marah, senjataku teracung ke depan, menarik pelatuk.
Tiga tembakan menghantam dada polisi yang kusuruh. Dia memakai rompi
anti peluru, tembakanku tidak akan melukainya, tapi dengan jarak hanya
tiga meter, tubuhnya tidak ayal terpental ke dinding, langsung pingsan.
“Lepaskan borgol mereka, atau kali ini aku akan menembak kepala kalian
yang tidak terlindung kevlar.” Aku menatap tiga polisi yang tersisa
dengan tatapan dingin.
Salah satu dari mereka menelan ludah sejenak,
lantas buru-buru mengeluarkan kunci borgol, mendekati Opa, Om Liem, dan
terakhir Julia.
“Nah, sekarang pakaikan borgol itu ke kalian sendiri!” Aku menyuruh.
“Bukan di dua tangan, bodoh!” Aku membentak. “Kaupasangkan kaki dengan tangan.”
Polisi itu bingung, meski akhirnya menurut.
Dua menit berlalu, tiga polisi yang tersisa terborgol sempurna dengan
posisi aneh, duduk menjeplak, kaki kanan menyatu dengan tangan kiri,
atau sebaliknya. Aku mendorong polisi yang kusandera, memukulkan popor
senjata ke kepalanya---ini balasan karena dia menyodokkan senjata ke
lambungku. Polisi itu tersungkur.
Petir menyambar untuk kesekian kali. Guntur menggelegar.
“Kau ikut kami! Berjalan di depan.” Aku menodongkan senjata pada Rudi.
“Segera!” Aku meneriakinya.
Rudi patah-patah dengan kedua tangan terangkat melangkah menuju pintu.
Opa dibantu Julia bergegas mengikutiku. Om Liem yang masih tidak
mengerti apa yang terjadi ikut melangkah.
Di bawah tembakan jutaan
bulir air hujan, rombongan kami menuju dermaga belakang, di sana
tertambat satu speedboat. Aku menyuruh yang lain segera naik, Opa
menghidupkan mesin speedboat.
“Terima kasih, Sobat.” Aku menolah pada Rudi, melemparkan senjata ke permukaan waduk.
“Kau berutang besar padaku, Thom.” Rudi mengusap wajahnya. Hujan deras membungkus kami.
“Aku akan membayarnya lunas dua hari lagi, lengkap dengan seluruh
bunganya. Kau pegang janjiku, janji seorang petarung.” Aku menyeka ujung
bibir yang terasa asin. Air hujan membuat sisa darah di hidung
mengalir.
“Kau akan kabur ke mana sekarang?”
“Astaga, Sobat? Aku pasti tidak akan memberitahumu.” Aku tertawa. “Kau jelas berada di pihak lawan.”
Rudi mengangguk, menyengir.
Dan sebelum cengirannya hilang, tanganku sudah bergerak cepat, telak
meninju dagunya. Tubuh besar Rudi seketika tersungkur di lantai dermaga.
Mulutnya berdarah. KO.
“Kau butuh alasan bukan? Nah, bilang pada
X2, kau sudah berusaha menangkapku, mengejar habis-habisan, tapi sasaran
yang kau kejar memang licik, berbahaya, dan mematikan. Dia sekarang
pasti paham kalimat yang dia karang sendiri itu saat menemukanmu semaput
di dermaga. Sama pahamnya saat menemukan tiga polisi terkapar di kamar,
tiga lainnya diborgol seperti posisi pertunjukan sirkus.” Aku sudah
loncat ke atas speedboat. Mengambil alih kemudi dari Opa, lantas menekan
pedal gas dalam-dalam. Speedboat melesat membelah waduk yang dibungkus
hujan deras.
Kilat menyambar membuat akar serabut di langit. Guntur menggelegar.
***
“Dia siapa?” Om Liem bertanya. Badannya sekarang terbungkus pakaian dan handuk kering, meski masih menggigil kedinginan.
“Jangan banyak tanya dulu. Habiskan cokelat panasmu.” Aku mendengus.
Om Liem menghela napas, mengangguk.
“Julia, perkenalkan, saya Julia, Om.” Julia memperlakukan Om Liem lebih baik, menjulurkan tangan.
“Kau apanya dia?” Om Liem bertanya.
“Teman, Om. Aku wartawan yang pernah mewawancari Thomas.”
“Kau jangan sampai suka padanya.” Opa menimbrung percakapan, tertawa kecil, mengesai rambut berubannya yang setengah basah.
Wajah Julia bertanya, kenapa.
“Karena sekali kau membuat kesalahan besar padanya, sepanjang hidup
nasibmu sama seperti omnya. Tidak pernah dipanggil nama langsung lagi.
Benci sekali dia.”
Aku melotot, menyuruh ketiga orang itu bergegas, ini bukan saat yang tepat mengobrol ringan.
Adalah lima belas menit speedboat yang kukemudikan menerobos waduk di
tengah hujan deras. Tidak sulit, aku sudah belajar mengemudi speedboat
sejak umur enam belas. Melewati keramba ikan penduduk, perahu nelayan
yang hujan-hujanan, aku akhirnya merapat di dermaga salah satu
resor---itu sebenarnya resor milik Opa. Pegawainya tanpa banyak bertanya
apa yang telah terjadi bergegas menyiapkan handuk kering, pakaian
ganti, minuman panas.
Pukul dua siang, hujan deras masih membungkus
waduk. Entah apa yang terjadi di rumah peristirahatan Opa, boleh jadi X2
dan pasukannya yang siap menjemput kami sedang marah-marah besar.
Rencana konferensi pers menghadirkan buronan besar gagal total. Aku
tidak peduli, aku sedang gemas menunggu Opa dan Om Liem memulihkan diri,
waktuku terbatas, tinggal 42 jam sebelum pukul 08.00 hari Senin.
“Kita harus segera bergerak!” aku berseru tidak sabaran.
“Bukankah kau tadi menyuruhku menghabiskan gelas cokelat ini, Tommi?” Om Liem bertanya.
“Dibungkus saja kalau kau mau,” aku menjawab ketus. “Kita tidak bisa
lama-lama, lima belas menit lagi seluruh jalanan keluar dari Waduk
Jatiluhur akan diblokade polisi. Mereka akan memeriksa setiap mobil.
Mereka sedang marah. Mereka akan melakukan apa pun untuk menangkap
kita.”
Julia mengangguk, memanggil petugas resor, meminta disiapkan mobil.
Aku bertepuk tangan. “Bergegas, Opa!”
Opa menghela napas panjang, “Orang tua ini mungkin lebih baik tinggal di sini, Tommi.”
Aku menggeleng. “Tidak. Opa harus ikut ke mana pun aku pergi. Mereka
tidak peduli lagi siapa yang terlibat, siapa yang tidak terlibat.
Jangan-jangan mereka sekarang sedang mencari pasal yang bisa menuntut
sepuluh tahun pembantu rumah Opa, membantu menyembunyikan buronan
misalnya.”
Petugas resor kembali dengan kunci mobil.
Aku
beranjak keluar, diikuti Julia yang membantu Opa berjalan, dan Om Liem,
yang astaga, menuruti perintahku, menerima gelas plastik cokelat hangat
dari petugas hotel.
“Ini mobilnya?” Langkah cepatku terhenti persis di lobi depan resor.
Petugas resor takut-takut mengangguk.
“Hanya ini yang tersedia, Pak. Mobil lain sedang menjemput tamu di Jakarta dan Bandung.”
“Bagaimana mungkin kami kabur dengan mobil ini?” Aku menepuk dahi, setengah tidak percaya.
“Tidak ada mobil lain, Pak. Kecuali Bapak mau menunggu setengah jam lagi.”
Ini sungguh paradoks, lelucon atau entah apalah menyebutnya. Sepanjang
pagi aku mengebut memakai mobil balap, sekarang ternyata aku harus
berhenti di pit stop resor, berganti dengan mobil box laundry milik
hotel. Lengkap dengan tulisan besar di dinding luarnya, “SuperClean.
Membersihkan apa saja!”
Aku mendengus kesal, menyuruh petugas hotel minggir dari depanku.
Bersambung
Bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon