Kamis, 02 Maret 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 26 - Kontak Putra Mahkota

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------


“PAK THOM naik apa? Kita tidak punya kendaraan di dermaga.” Kadek menyejajari langkahku, bergegas menyerahkan S&W. Aku menyuruhnya mengambil revolver itu dari kamar.

Pasifik sudah sempurna merapat di bagian dermaga lain. Dari geladak kapal, sebenarnya dengan binokuler bisa terlihat tidak ada polisi yang berjaga di dermaga tempat kapal ini sebelumnya tertambat, tapi aku memutuskan merapat di bagian lain.

“Aku naik taksi, Kadek.” 

“Taksi?” Kadek menyeringai.

Aku menoleh, sambil memasang revolver di pinggang. “Naik apa lagi? Aku menelepon call center mereka lima menit lalu, salah satu mobilnya segera ke dermaga.”

“Pak Thom akan berperang dengan naik taksi?”

Aku tertawa kecil. “Aku tidak pergi berperang, Kadek. Ini hanya untuk berjaga-jaga.”

Aku melambaikan tangan pada Opa dan Om Liem yang berdiri di balik jendela kamar dengan tirai tersingkap, berjalan cepat ke tempat taksi terparkir rapi, membuka pintu, mengempaskan badan di jok mobil, dan menyebut alamat kantorku---tujuan pertama pagi ini. Aku harus mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.

“Bergegas. Semakin ngebut, semakin banyak tips yang kuberikan.”

Sopir taksi mengangguk senang. Ditilik dari gurat wajah mudanya, jelas dia bosan dengan aturan main harus mengendarai kendaraan hati-hati dan nyaman, belum lagi stiker di pintu mobil, laporkan ke nomor telepon ini jika pengemudi ugal-ugalan. Aku merestuinya. Dia segera menekan pedal gas, sambil membanting setir, taksi berbelok, meluncur cepat meninggalkan dermaga yacht.

Lima menit, mobil sudah melintasi tol yang lengang pada Minggu pagi, langsung menuju pusat kota.
Aku meraih telepon genggam, saatnya menghubungi beberapa orang.

“Astaga, Thomas! Kau dari mana saja?”

Ram, adalah orang pertama, dan aku sedikit menyesal menghubunginya lebih dulu.

“Aku menelepon kau sejak pukul sepuluh tadi malam, Thomas. Telepon genggam kau tulalit. Berkali-kali, berkali-kali, kau membuatku terjebak serbasalah menghadapi puluhan nasabah Bank Semesta. Wajah-wajah cemas, meminta penjelasan, bahkan mereka berteriak-teriak marah tidak sabaran. Mereka minta segera kepastian, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kau gila, Thom, ke mana kau sebenarnya tadi malam. Aku tidak bisa menangani mereka sendirian. Setengah jam lebih aku berusaha menahan mereka, bersabar, menyuruh mereka menunggu hingga kau datang. Sial, jangankan hidung dan dahimu, telepon genggam kau mati.”

“Rileks, Ram,” aku menyela sebelum kalimat keluhan (sekaligus laporan) Ram tidak berkesudahan dan berlebihan, “kita bisa meminta mereka kembali berkumpul, re-schedule. Aku akan menjelaskan situasinya. Ini hanya soal pertemuan yang tertunda.”

Ram tertawa kecil, prihatin. “Tidak perlu, Thom. Tanpa disuruh, mereka sudah berkumpul. Pagi ini sudah separuh nasabah besar datang ke kantor pusat Bank Semesta, mendesak bertemu dengan Om Liem. Ini hari Minggu, Thom, tapi mereka datang dengan wajah seperti Senin yang menyebalkan. Berdiri di depan kantor, terus menyuruh satpam membuka pintu.”

Aku menelan ludah. Itu kabar terbaru di luar dugaan. Aku berpikir sejenak.

Aku melirik jam di dasbor taksi. Pukul 07.45, masih tiga jam lagi janji pertemuan dengan menteri. Aku harus bergerak cepat, waktuku tinggal 24 jam sebelum tenggat besok Senin, pukul 08.00.

“Baiklah, ini menjadi lebih mudah, Ram. Bilang ke mereka, aku akan tiba di kantor lima belas menit lagi. Kita bahas segera masalah ini. Kau juga minta nasabah besar lain bergegas datang.”

Aku mematikan telepon genggam sebelum Ram sempat berkomentar. Aku menjulurkan kepala ke depan, menyebut gedung tujuan baru, kantor Bank Semesta. 

Sopir taksi tidak banyak bertanya, hanya mengangguk, matanya konsentrasi penuh ke depan.

Aku menekan nomor telepon kedua, Erik. Nada tunggu lama, sial, tidak diangkat-angkat. Aku hampir menutup telepon, bersiap mengumpat dalam hati, jangan-jangan dia masih tidur lelap.

“Hallo, siapa?” Suara menguap.

Aku menyengir. “Siapa? Sayangnya mungkin aku orang yang paling kauhindari sejak kemarin, Kawan.”

Benar, belum habis kalimatku, Erik sudah mendengus. 

Aku tertawa pelan, setidaknya Erik jadi seratus persen bangun mendengar suaraku.

“Kau mau apalagi? Ini hari Minggu, tidak bosannya kau mengganggu waktu istirahatku. Aku sudah melakukan yang kauminta. Pejabat bank sentral itu mengalah. Dia mentah-mentah mengerjakan apa yang kausuruh, mempermanis laporan. Entah dari mana dia memperoleh angka talangan dua triliun. Dia juga menghapus seluruh laporan rekayasa dan kejahatan keuangan Bank Semesta di seluruh laporan sebelumnya. Asal kau tahu, mungkin setitik pun tidak lagi tersisa kode etik, integritas, kejujuran, dan sebagainya di hati dia gara-gara permintaanmu.”

Tawaku bungkam, wajahku sedikit mengeras. “Jangan bicara soal kode etik, integritas, dan kejujuran kepadaku, Erik. Ini masih terlalu pagi untuk ceramah. Kita sama-sama tahu, untuk orang-orang seperti kita, kehormatan adalah omong kosong. Boleh saja kau presentasi tentang good governance, patuhi regulasi, sesuai standar prosedur, membual pada setiap klien, tapi sejatinya kita hidup dari bisnis hipokrasi.”

Erik di seberang sana menelan ludah, terdiam oleh kalimat tajamku.

“Lupakan. Aku meneleponmu hanya untuk bertanya, kau punya nomor telepon ‘putra mahkota’?” aku menyela, lengang sejenak.

“Putra mahkota?” 

“Siapa lagi? Salah satu anggota klub bertarung kita, Erik, petinggi partai besar, orang penting di negeri ini. Kau punya nomor teleponnya?”

“Buat apa?” Erik bertanya ragu-ragu.

“Aku mau mendaftar jadi kader partainya. Siapa tahu bisa bantu-bantu bazar sembako atau berjaga di pos periksa kesehatan gratis.”

“Eh?”

“Berhentilah bertanya, Erik.” Aku menyumpahi Erik dalam hati. “Aku harus menguasai seluruh bidak jika ingin memenangkan permainan ini, menyelamatkan Bank Semesta.”

Erik diam sebentar, helaan napasnya bahkan terdengar hingga langit-langit taksi.

“Nomor teleponnya langsung, Erik. Bukan nomor kontak sekretaris, ajudan, staf ahli, apalagi orang-orang penjilat di sekitarnya. Aku harus berbicara langsung dengannya.” Aku mengingatkannya sebelum dia menjawab.

“Baik, Thom. Akan kukirimkan business card-nya beberapa detik lagi.”

“Nah, itu baru teman yang baik.”

“Kau berutang banyak sekali padaku untuk ini semua, Thom”

Aku tertawa. “Tenang saja. Aku akan membayarnya lunas. Kau bahkan bisa sekaligus menagih bunga-bunganya setelah hari Senin, Kawan. Dengan asumsi, aku masih hidup dan bebas berkeliaran di kota ini.”

Aku menutup pembicaraan, membiarkan dahi Erik terlipat mendengar kalimat terakhirku. 

Taksi terus menyalip apa saja di depannya. Sepuluh menit lagi kantor pusat Bank Semesta. Aku menarik napas dalam-dalam, kalimatku tadi kepada Erik tidak bergurau. Dengan situasi yang terus serius jam demi jam, ada banyak kemungkinan buruk di hadapanku, termasuk yang terburuk sekalipun.

Aku mengembuskan napas, baiklah, telepon ketiga pagi ini.

“Halo, Thom. Bukankah kau baru dua jam lalu meneleponku? Ini membuatku tersanjung. Kau amat perhatian padaku.” Suara Julia terdengar renyah. “Tapi kalau kau bertanya apakah aku sudah bersiap-siap menuju kantor menteri, aku bahkan sudah di gedungnya. Berkumpul bersama belasan wartawan lain yang mencari tahu kabar terakhir. Semoga jadwal pertemuan kita tidak dibatalkan di detik terakhir. Banyak sekali orang yang ingin menemui beliau dalam situasi seperti ini.” 

Aku menyengir, memutuskan tidak bertanya soal itu.

“Kau memang wartawan terbaik review terkemuka, Julia,” aku memuji.

Julia tertawa. “Sepertinya tiga hari lalu, di atas pesawat, kau bahkan melihatku sebelah mata pun tidak, Thom. Aku tidak lebih anak SMA yang baru belajar ekonomi, bukan.”

“Hei, semua orang berubah pikiran, Julia. Lagi pula, kalau kau ingin sebuah hubungan berhasil, entah itu pertemanan, atau lebih dari itu, kau harus terbiasa menyesuaikan diri, selalu berubah.” Aku ikut tertawa. Setelah kejadian ditembaki satu pasukan polisi tadi pagi, bergegas kembali ke dermaga, naik taksi, menelepon Ram dan Erik, percakapan pendek dengan Julia sepagi ini membuatku lebih santai. Mendengar suaranya yang riang, aku lupa kalau kemarin siang kami diborgol bersama.

“Kau tidak sedang menggodaku dengan mengatakan kalimat itu, bukan?” 

Aku menyumpahi Julia dalam hati. “Tidak mudah menggoda gadis seterus terang kau, Julia. Nah, kau pagi ini tidak memakai rok dan blus seperti di pesawat, bukan?”

“Eh? Memangnya kenapa?” 

“Karena aku tidak menjamin kebersamaan kita hari ini akan nyaman seperti pasangan pergi berwisata, Julia. Boleh jadi seperti kemarin siang, ngebut, tangan diborgol, mulut dibekap, dibanting duduk.” Aku menyengir.

“Kalau hanya itu, tidak masalah, Thom. Aku pandai berakting, lebih dari adegan telenovela malah.” Suara Julia masih terdengar santai.

Aku mengusap dahi, membiarkan Julia riang sejenak. “Ini tidak lagi sekadar urusan Fernando-Esmeralda, Julia. Sepagi ini saja, setelah meneleponmu tadi pagi, aku sudah dikejar polisi. Mereka membabi buta menembaki kapal. Om Liem, Opa, tiarap di lantai kabin. Aku harus membalas menembaki mereka agar bisa lolos.”

“Astaga? Tetapi kau baik-baik saja, bukan?” Julia berseru, suaranya berubah cemas. “Eh, maksudku tentu saja kau baik-baik saja, kau meneleponku dengan suara santai.” Dia bergegas menganulir.

“Terima kasih sudah bertanya kabarku, Julia.” Aku tertawa. “Kau amat perhatian kepadaku, jarang sekali ada gadis yang berseru mencemaskanku, padahal tiga hari lalu dia sepertinya bahkan bersedia menimpukku dengan piring kaviar.”

Julia bergumam sebal. “Kau memang pria yang suka membalas, Thomas.”

“Aku tidak membalas, Julia. Aku hanya meniru sikap ketus dan sinis seorang gadis. Kau harusnya kenal sekali siapa dia. Aku baru kenal dia tiga hari terakhir.”

Julia mendengus.

“Nah, semoga kau tidak memakai rok dan blus hari ini, Julia. Jadi, bisa lebih gesit berlari. Sampai bertemu pukul sebelas.” Aku segera menutup percakapan.

Mobil taksi sudah keluar dari tol, langsung menuju kantor pusat Bank Semesta.

Aku harus mengurus nasabah besar, pemilik tabungan dan deposito individu dengan nilai puluhan miliar. Nasabah yang paling terancam jika Bank Semesta ditutup. Tidak sepeser pun uang mereka akan kembali. Sekali mereka bersepakat, urusan dengan putra mahkota dan yang lainnya akan lebih mudah.



*bersambung


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon