Sabtu, 04 Maret 2017

[NOVEL] Negeri Para Bedebah Episode 27 - Sepertiga atau Semua

Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.

------------ Selamat Membaca -------------------


“PRANG!!”

Guci berusia ratusan tahun---salah satu ornamen sederhana, tapi superantik dan mahal---di ruangan rapat lantai satu Bank Semesta menghantam dinding. Hancur berbeling-beling.

Ruangan besar hening sejenak setelah suara bising yang mengejutkan.

“Kami mau uangnya kembali!” Salah seorang nasabah yang baru saja melempar guci berharga itu---ditilik dari wajah dan bentuk badannya dia pastilah pernah mengikuti dinas kemiliteran---menatapku galak.

“Ya, kami mau uangnya kembali.” Nasabah lain berseru menimpali.

“Benar.” Teriakan nasabah lain ikut terdengar, mengangguk-angguk dengan tampang masam.

“Kami juga ingin bertemu dengan Om Liem, sejak tadi malam kami ingin mendengar penjelasan langsung darinya, bukan staf ahli, orang kedua, wakil, atau apalah kalian menyebutnya.” Salah satu nasabah di barisan belakang berseru pelan.

“Iya, kami ingin bertemu Om Liem. Dia harus mengembalikan seluruh uang kami.”

Aku mengembuskan napas jengkel, menggeleng. 

Urusan ini sama saja, di pinggiran pasar induk yang becek dan bau, maupun di ruangan dengan lantai keramik mahal dan bergorden beludru. Baik para pedagang buah dan sayur yang meributkan kembalian, maupun nasabah kelas kakap dengan tabungan miliaran, semua orang bertingkah sama, melupakan kesabaran jika urusannya tentang uang.

“Baik!” aku berseru tegas, berjalan cepat menuju sudut ruangan, kasar menyambar guci antik lain. “Nah, kaulemparkan juga yang ini! Lemparkan semaumu!”

Aku membentak, melotot.

Nasabah setengah baya, berbadan kekar itu terdiam, bingung menatapku.

“PRANG!!” Aku yang lebih dulu melemparkan dua guci mahal itu menghantam dinding cermin dekat proyektor. Suara potongan guci yang hancur beserta serpihan cermin berderai menimpa lantai.

Gumaman puluhan nasabah besar Bank Semesta segera bungkam, mereka sempurna menatap ke arahku.

“Kalian lemparkan semua guci di ruangan ini, kalian rusak semuanya, bahkan gedung besar ini kalian hancurkan, percuma, itu tidak akan mengembalikan uang kalian!” aku berseru, balas menatap wajah-wajah tidak sabaran.

“Sekali Bank Semesta ditutup pemerintah, tidak ada sepeser pun uang nasabah di atas dua miliar akan selamat. Percuma kalian teriak, marah, demo membakar ban di depan Istana, sia-sia, maka berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita bicara baik-baik.”

Ruangan besar kembali senyap.

Aku menahan napas. 

Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis aku masuk ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih marah lagi saat aku mulai bicara tentang kemungkinan Bank Semesta ditutup. Lima menit berlalu, hanya soal waktu salah satu nasabah akan berusaha meninju wajahku, pertemuan menjadi gaduh. Jadi, aku harus bergerak cepat.

Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan meyakinkan, maka aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa nasabah berseru tertahan melihat senjata itu teracung, dua-tiga malah refleks melangkah mundur. Aku tidak peduli, melangkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan nasabah setengah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.

“Nah, kau tembak saja kepalaku, uangmu tetap tidak akan kembali!” Aku berkata datar dan tajam, memasangkan gagang pistol ke dalam tangannya.

“Ayo, tembak saja!” aku menyuruh, mengarahkan tangan yang memegang pistol ke kepalaku, moncong S&W itu persis di dahiku sekarang.

Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah menjadi pias. Nasabah ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerek atau kedua belah telapak tangan, jerih. Satu-dua malah berteriak panik, berseru “jangan” atau “hentikan”.

“Tembak saja!” Aku justru membentak.

Setengah menit senyap.

Dia menggeleng, mengembuskan napas.

Tangannya yang memegang pistol terkulai.

Tatapan galak itu telah luntur. Delapan menit sejak pertemuan dimulai, aku akhirnya menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah pertemuan.

“Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom.” Nasabah setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan. “Saya lama sekali mengumpulkannya, itu uang pensiun saya setelah berpuluh tahun menjadi tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih remaja, biaya makan kami, biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu, bahkan untuk pensiunan tentara, meski jenderal sekalipun, uang pensiun dari pemerintah tidak memadai.”

Nasabah lain mengangguk---meski tidak bergumam ribut lagi.

“Baik, kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik sekarang.” 

Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajah-wajah di sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati---peduli setan dengan rasa simpatiku, di ruangan ini, banyak sekali nasabah yang tidak masuk akal bisa memiliki deposito puluhan miliar. 

“Nah, seperti yang telah kusampaikan dalam kalimat pembuka pertemuan kita tadi, aku adalah konsultan keuangan profesional. Aku ditunjuk mewakili Om Liem untuk melakukan negosiasi dengan otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta ditutup atau tidak sebelum pukul 08.00 besok pagi Senin.” Aku memasang wajah tegak, menatap seluruh peserta pertemuan.

“Kabar buruknya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, menurut perhitungan serta penilaian profesionalku, Bank Semesta bahkan seharusnya ditutup enam tahun lalu. Titik. Kabar baiknya, urusan ini sudah telanjur rumit dan memiliki implikasi luas, tidak pernah lagi sesederhana enam tahun silam. Lagi pula, sebagai orang yang dibayar pihak bank, aku jelas orang pertama yang menentang penutupan Bank Semesta. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah Bank Semesta pailit.

“Kenapa kita bertemu di sini? Dalam situasi tidak jelas, panik, serta marah? Karena aku butuh bantuan kalian. Apa yang aku butuhkan? Sederhana saja. Kalian jawab pertanyaan ini, dalam situasi darurat, dengan kemungkinan seratus persen uang kalian hilang, apakah kalian akan memilih kehilangan seluruh uang itu atau bersedia mengorbankan sepertiga darinya sebagai biaya penyelamatan?”

Aku diam sejenak, membiarkan puluhan nasabah kelas kakap mencerna kalimatku.

“Kalian kehilangan semua atau sepertiga, pilih yang mana?” Aku mengulang pertanyaan itu setelah mereka saling menoleh, bergumam pelan, mulai mengerti situasinya.

“Tetapi buat apa uang yang sepertiga itu, Pak Thom?”

Aku tertawa prihatin. “Untuk menyumpal semua pihak, apalagi?”

Mereka terdiam.

“Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait. Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apa pun itu, semakin banyak yang menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyidikan secara sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh jika komisi pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta.

“Aku butuh banyak uang untuk melakukannya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Nah, kalian bersedia menyerahkan sepertiga deposito atau tabungan, atau sebaliknya, kalian bersedia kehilangan semuanya. Putuskan segera, sebelum pemerintah mengetuk palu. Sekali Bank Semesta ditutup, tidak ada lagi rekayasa yang bisa aku lakukan. Kalian punya waktu setengah jam untuk berdiskusi, aku harus segera pergi, waktuku sempit. Selamat pagi.” Aku balik kanan, meninggalkan keributan yang segera meruap di ruangan.

“Ram, kau pimpin mereka berdiskusi,” aku menepuk bahu Ram, “kabarkan segera padaku apa pun keputusan mereka.”

Ram mengangguk, bergegas menyejajari langkah kakiku keluar ruangan rapat. Suara bising peserta pertemuan segera memenuhi langit-langit. Satu-dua berseru soal semua ini tidak masuk akal, menyesal telah menabung di Bank Semesta. Satu-dua menangis, mungkin sedih membayangkan uangnya hilang. Tetapi lebih banyak yang mengangguk menyetujui kalimatku, mulai berkumpul dan membahas solusi yang kutawarkan, solusi paling masuk akal bagi mereka.

Aku sudah tidak mendengarkan, sudah pukul sembilan. Dua jam lagi jadwal pertemuanku dengan menteri, aku harus singgah sebentar ke kantor mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.

Saat itulah, saat aku melintasi pintu, berjalan cepat menuju lobi luas gedung, seseorang telah menungguku. Rambutnya menguban, tubuhnya gempal pendek, wajah khas seperti Opa. 

Dia tersenyum hangat. “Tommi, apa kabar?”

Aku mendongak, menelan ludah. Hanya sedikit orang yang tahu nama panggilan masa kecilku, Tommi, apalagi sejak rumah dibakar puluhan tahun lalu. Nama kecil itu hanya diketahui Opa, Om Liem, dan Tante. Siapa orang tua ini?



**

Bersambung

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.

Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye  secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf

Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.

Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.


EmoticonEmoticon