Selamat menikmati novel Negeri Para Bedebah yang di posting oleh Tere Liye Sendiri di akun facebook resminya. Tidak ada niat unsur plagiat Novel Negeri Para Bedebah di sini karena saya hanya mengumpulkan dari yang sudah di posting oleh Tere Liye sendiri.
------------ Selamat Membaca -------------------
“PRANG!!”
Guci berusia ratusan tahun---salah satu ornamen
sederhana, tapi superantik dan mahal---di ruangan rapat lantai satu Bank
Semesta menghantam dinding. Hancur berbeling-beling.
Ruangan besar hening sejenak setelah suara bising yang mengejutkan.
“Kami mau uangnya kembali!” Salah seorang nasabah yang baru saja
melempar guci berharga itu---ditilik dari wajah dan bentuk badannya dia
pastilah pernah mengikuti dinas kemiliteran---menatapku galak.
“Ya, kami mau uangnya kembali.” Nasabah lain berseru menimpali.
“Benar.” Teriakan nasabah lain ikut terdengar, mengangguk-angguk dengan tampang masam.
“Kami juga ingin bertemu dengan Om Liem, sejak tadi malam kami ingin
mendengar penjelasan langsung darinya, bukan staf ahli, orang kedua,
wakil, atau apalah kalian menyebutnya.” Salah satu nasabah di barisan
belakang berseru pelan.
“Iya, kami ingin bertemu Om Liem. Dia harus mengembalikan seluruh uang kami.”
Aku mengembuskan napas jengkel, menggeleng.
Urusan ini sama saja, di pinggiran pasar induk yang becek dan bau,
maupun di ruangan dengan lantai keramik mahal dan bergorden beludru.
Baik para pedagang buah dan sayur yang meributkan kembalian, maupun
nasabah kelas kakap dengan tabungan miliaran, semua orang bertingkah
sama, melupakan kesabaran jika urusannya tentang uang.
“Baik!” aku
berseru tegas, berjalan cepat menuju sudut ruangan, kasar menyambar guci
antik lain. “Nah, kaulemparkan juga yang ini! Lemparkan semaumu!”
Aku membentak, melotot.
Nasabah setengah baya, berbadan kekar itu terdiam, bingung menatapku.
“PRANG!!” Aku yang lebih dulu melemparkan dua guci mahal itu menghantam
dinding cermin dekat proyektor. Suara potongan guci yang hancur beserta
serpihan cermin berderai menimpa lantai.
Gumaman puluhan nasabah besar Bank Semesta segera bungkam, mereka sempurna menatap ke arahku.
“Kalian lemparkan semua guci di ruangan ini, kalian rusak semuanya,
bahkan gedung besar ini kalian hancurkan, percuma, itu tidak akan
mengembalikan uang kalian!” aku berseru, balas menatap wajah-wajah tidak
sabaran.
“Sekali Bank Semesta ditutup pemerintah, tidak ada sepeser
pun uang nasabah di atas dua miliar akan selamat. Percuma kalian
teriak, marah, demo membakar ban di depan Istana, sia-sia, maka
berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita bicara baik-baik.”
Ruangan besar kembali senyap.
Aku menahan napas.
Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis aku masuk
ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih marah lagi saat aku
mulai bicara tentang kemungkinan Bank Semesta ditutup. Lima menit
berlalu, hanya soal waktu salah satu nasabah akan berusaha meninju
wajahku, pertemuan menjadi gaduh. Jadi, aku harus bergerak cepat.
Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan meyakinkan, maka
aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa nasabah berseru tertahan
melihat senjata itu teracung, dua-tiga malah refleks melangkah mundur.
Aku tidak peduli, melangkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan
nasabah setengah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.
“Nah, kau tembak saja kepalaku, uangmu tetap tidak akan kembali!” Aku
berkata datar dan tajam, memasangkan gagang pistol ke dalam tangannya.
“Ayo, tembak saja!” aku menyuruh, mengarahkan tangan yang memegang
pistol ke kepalaku, moncong S&W itu persis di dahiku sekarang.
Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah menjadi pias. Nasabah
ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerek atau kedua belah telapak
tangan, jerih. Satu-dua malah berteriak panik, berseru “jangan” atau
“hentikan”.
“Tembak saja!” Aku justru membentak.
Setengah menit senyap.
Dia menggeleng, mengembuskan napas.
Tangannya yang memegang pistol terkulai.
Tatapan galak itu telah luntur. Delapan menit sejak pertemuan dimulai,
aku akhirnya menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah
pertemuan.
“Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom.” Nasabah
setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan. “Saya lama sekali
mengumpulkannya, itu uang pensiun saya setelah berpuluh tahun menjadi
tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih remaja, biaya makan kami,
biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu, bahkan untuk pensiunan tentara,
meski jenderal sekalipun, uang pensiun dari pemerintah tidak memadai.”
Nasabah lain mengangguk---meski tidak bergumam ribut lagi.
“Baik, kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik sekarang.”
Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajah-wajah di
sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati---peduli setan dengan rasa
simpatiku, di ruangan ini, banyak sekali nasabah yang tidak masuk akal
bisa memiliki deposito puluhan miliar.
“Nah, seperti yang telah
kusampaikan dalam kalimat pembuka pertemuan kita tadi, aku adalah
konsultan keuangan profesional. Aku ditunjuk mewakili Om Liem untuk
melakukan negosiasi dengan otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta
ditutup atau tidak sebelum pukul 08.00 besok pagi Senin.” Aku memasang
wajah tegak, menatap seluruh peserta pertemuan.
“Kabar buruknya,
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, menurut perhitungan serta penilaian profesionalku,
Bank Semesta bahkan seharusnya ditutup enam tahun lalu. Titik. Kabar
baiknya, urusan ini sudah telanjur rumit dan memiliki implikasi luas,
tidak pernah lagi sesederhana enam tahun silam. Lagi pula, sebagai orang
yang dibayar pihak bank, aku jelas orang pertama yang menentang
penutupan Bank Semesta. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah Bank
Semesta pailit.
“Kenapa kita bertemu di sini? Dalam situasi tidak
jelas, panik, serta marah? Karena aku butuh bantuan kalian. Apa yang aku
butuhkan? Sederhana saja. Kalian jawab pertanyaan ini, dalam situasi
darurat, dengan kemungkinan seratus persen uang kalian hilang, apakah
kalian akan memilih kehilangan seluruh uang itu atau bersedia
mengorbankan sepertiga darinya sebagai biaya penyelamatan?”
Aku diam sejenak, membiarkan puluhan nasabah kelas kakap mencerna kalimatku.
“Kalian kehilangan semua atau sepertiga, pilih yang mana?” Aku
mengulang pertanyaan itu setelah mereka saling menoleh, bergumam pelan,
mulai mengerti situasinya.
“Tetapi buat apa uang yang sepertiga itu, Pak Thom?”
Aku tertawa prihatin. “Untuk menyumpal semua pihak, apalagi?”
Mereka terdiam.
“Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite
stabilitas keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan
terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga,
individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan
penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus
menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait. Pejabat pemerintah, partai
politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu
pengurus organisasi olahraga, apa pun itu, semakin banyak yang menerima
kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyidikan secara
sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik
saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh jika komisi
pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank
Semesta.
“Aku butuh banyak uang untuk melakukannya, Bapak-Bapak,
Ibu-Ibu. Nah, kalian bersedia menyerahkan sepertiga deposito atau
tabungan, atau sebaliknya, kalian bersedia kehilangan semuanya. Putuskan
segera, sebelum pemerintah mengetuk palu. Sekali Bank Semesta ditutup,
tidak ada lagi rekayasa yang bisa aku lakukan. Kalian punya waktu
setengah jam untuk berdiskusi, aku harus segera pergi, waktuku sempit.
Selamat pagi.” Aku balik kanan, meninggalkan keributan yang segera
meruap di ruangan.
“Ram, kau pimpin mereka berdiskusi,” aku menepuk bahu Ram, “kabarkan segera padaku apa pun keputusan mereka.”
Ram mengangguk, bergegas menyejajari langkah kakiku keluar ruangan
rapat. Suara bising peserta pertemuan segera memenuhi langit-langit.
Satu-dua berseru soal semua ini tidak masuk akal, menyesal telah
menabung di Bank Semesta. Satu-dua menangis, mungkin sedih membayangkan
uangnya hilang. Tetapi lebih banyak yang mengangguk menyetujui
kalimatku, mulai berkumpul dan membahas solusi yang kutawarkan, solusi
paling masuk akal bagi mereka.
Aku sudah tidak mendengarkan, sudah
pukul sembilan. Dua jam lagi jadwal pertemuanku dengan menteri, aku
harus singgah sebentar ke kantor mengambil salinan dokumen Bank Semesta
dari Maggie.
Saat itulah, saat aku melintasi pintu, berjalan cepat
menuju lobi luas gedung, seseorang telah menungguku. Rambutnya menguban,
tubuhnya gempal pendek, wajah khas seperti Opa.
Dia tersenyum hangat. “Tommi, apa kabar?”
Aku mendongak, menelan ludah. Hanya sedikit orang yang tahu nama
panggilan masa kecilku, Tommi, apalagi sejak rumah dibakar puluhan tahun
lalu. Nama kecil itu hanya diketahui Opa, Om Liem, dan Tante. Siapa
orang tua ini?
**
Bersambung
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semua Cerita Tentang Novel Negeri Para Bedebah Edisi Bersambung Ini Tidak saya Ambil dan Tulis Ulang dari Novel Negeri Para Bedebah. Tapi di Copas Dari Page Tere Liye Di Facebook.
Untuk Dapatkan Updatenya, bisa di dapat di Page Resmi Dari Tere Liye secara langsung, : https://www.facebook.com/tereliyewriter/?fref=nf
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Atau langsung baca secara lengkap dari episode 1 sampai akhir di blog saya: http://ciminis.blogspot.co.id/p/blog-page.html
Sedangkan saya hanya mengumpulkannya saja di blog saya, karena bagus. Terima Kasih.
Untuk Pembelian Novel Tere Liye Dengan Judul Negeri Para Bedebah bisa langsung cari saja di gramedia.
EmoticonEmoticon