Kamis, 09 Maret 2017

Produksi Sebesar-besarnya, Komsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya Oleh Ippho Santosa



Di dunia ini, sejumlah keluarga kerajaan dari beberapa negara memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mewah. Yah, macam-macam yang mereka miliki. Mulai dari perabot berlapis emas, koleksi ratusan mobil, sampai koleksi hewan langka!

Punya mobil banyak, bolehkah? Boleh-boleh saja, asalkan produktif. Misalnya untuk rental, kargo, dll. Bukankah dulu Usman juga punya banyak unta dan kuda? Nah, ini untuk tujuan produktif. Perdagangan. Bukan untuk senang-senang pribadi.

Menurut riset yang digelar oleh ilmuwan dari Amerika dan Inggris, ditemukan bahwa ketika kelompok elit kian kaya, maka 99 persen manusia lainnya (yang tidak kaya) di bumi justru semakin tak bahagia. Lho kok gitu?

Ya begitu. Mungkin karena ketimpangan ekonomi. "Studi kami menunjukkan, secara rata-rata, tingkat kepuasan hidup akan turun ketika si kaya semakin kaya," tulis para peneliti dalam riset bertajuk "Top Incomes and Human Well-Being Around the World" dan disarikan kembali dalam The Guardian.

Jan‐Emmanuel De Neve dan Nattavudh Powdthavee, dua ilmuwan dalam riset itu, menulis bahwa penelitian mereka bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh meningkatnya harta segelintir orang paling kaya di dunia dan dampaknya terhadap kondisi manusia secara keseluruhan.

Itu faktanya. Terus, apa solusinya?

"Produksi sebesar-besarnya, konsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya," itulah seruan saya sejak dulu. Yang namanya manusia mesti produktif. Namun yang dipakai seperlunya saja, nggak konsumtif. Dengan demikian, akan banyak yang tersisa. Nah, sisanya ini yang didistribusikan seluas-luasnya. Berbagi.

Apa yang dimaksud dengan produktif? Bisnisnya berkembang. Bisnisnya menaungi orang banyak. Punya sederet karya. Punya setumpuk prestasi. Bertabur amal ini-itu. Perhatikan baik-baik. Di sini fokus semuanya adalah manfaat bagi orang banyak, bukan kesenangan pribadi.

Saya sempat bertanya sama guru saya, "Bukankah Nabi Sulaiman (Raja Salomo) memiliki segalanya dan semuanya serba mewah?" Guru saya menjawab, "Di zaman itu mungkin perlu syariat kaya seperti itu. Bahkan dia diizinkan berinteraksi dengan jin. Sekarang, tidak lagi. Sebagai umat Nabi Muhammad, maka patokan kita adalah Nabi Muhammad dan para sahabat."

Tapi, ada yang berkilah, "Ini kan uang saya sendiri, terserah saya dong!" Secara rasional, dalih itu memang betul. Namun secara spiritual, sepertinya ini bertentangan dengan semangat Al-Takatsur yang melarang kita untuk bermegah-megahan. Kaya, boleh. Bermegah-megahan, jangan.

Kalau Anda kaya, terus Anda punya BMW atau Volvo yang bagus safety-nya, itu boleh-boleh saja. Tapi kalau Anda gemar Audi terus mengoleksi Audi di garasi Anda, maaf, menurut saya itu sudah menjurus pada bermegah-megahan.

Semoga ini jadi bahan renungan bagi semua. Sekian dari saya, Ippho Santosa.


EmoticonEmoticon