Di dunia ini, sejumlah keluarga kerajaan
dari beberapa negara memiliki kebiasaan-kebiasaan yang mewah. Yah,
macam-macam yang mereka miliki. Mulai dari perabot berlapis emas,
koleksi ratusan mobil, sampai koleksi hewan langka!
Punya
mobil banyak, bolehkah? Boleh-boleh saja, asalkan produktif. Misalnya
untuk rental, kargo, dll. Bukankah dulu Usman juga punya banyak unta dan
kuda? Nah, ini untuk tujuan produktif. Perdagangan. Bukan untuk
senang-senang pribadi.
Menurut
riset yang digelar oleh ilmuwan dari Amerika dan Inggris, ditemukan
bahwa ketika kelompok elit kian kaya, maka 99 persen manusia lainnya
(yang tidak kaya) di bumi justru semakin tak bahagia. Lho kok gitu?
Ya
begitu. Mungkin karena ketimpangan ekonomi. "Studi kami menunjukkan,
secara rata-rata, tingkat kepuasan hidup akan turun ketika si kaya
semakin kaya," tulis para peneliti dalam riset bertajuk "Top Incomes and
Human Well-Being Around the World" dan disarikan kembali dalam The
Guardian.
Jan‐Emmanuel De
Neve dan Nattavudh Powdthavee, dua ilmuwan dalam riset itu, menulis
bahwa penelitian mereka bertujuan untuk mengungkapkan pengaruh
meningkatnya harta segelintir orang paling kaya di dunia dan dampaknya
terhadap kondisi manusia secara keseluruhan.
Itu faktanya. Terus, apa solusinya?
"Produksi
sebesar-besarnya, konsumsi sekedarnya, distribusi seluas-luasnya,"
itulah seruan saya sejak dulu. Yang namanya manusia mesti produktif.
Namun yang dipakai seperlunya saja, nggak konsumtif. Dengan demikian,
akan banyak yang tersisa. Nah, sisanya ini yang didistribusikan
seluas-luasnya. Berbagi.
Apa
yang dimaksud dengan produktif? Bisnisnya berkembang. Bisnisnya
menaungi orang banyak. Punya sederet karya. Punya setumpuk prestasi.
Bertabur amal ini-itu. Perhatikan baik-baik. Di sini fokus semuanya
adalah manfaat bagi orang banyak, bukan kesenangan pribadi.
Saya
sempat bertanya sama guru saya, "Bukankah Nabi Sulaiman (Raja Salomo)
memiliki segalanya dan semuanya serba mewah?" Guru saya menjawab, "Di
zaman itu mungkin perlu syariat kaya seperti itu. Bahkan dia diizinkan
berinteraksi dengan jin. Sekarang, tidak lagi. Sebagai umat Nabi
Muhammad, maka patokan kita adalah Nabi Muhammad dan para sahabat."
Tapi,
ada yang berkilah, "Ini kan uang saya sendiri, terserah saya dong!"
Secara rasional, dalih itu memang betul. Namun secara spiritual,
sepertinya ini bertentangan dengan semangat Al-Takatsur yang melarang
kita untuk bermegah-megahan. Kaya, boleh. Bermegah-megahan, jangan.
Kalau
Anda kaya, terus Anda punya BMW atau Volvo yang bagus safety-nya, itu
boleh-boleh saja. Tapi kalau Anda gemar Audi terus mengoleksi Audi di
garasi Anda, maaf, menurut saya itu sudah menjurus pada
bermegah-megahan.
Semoga ini jadi bahan renungan bagi semua. Sekian dari saya, Ippho Santosa.
EmoticonEmoticon