Sabtu, 04 Maret 2017

Solusi Ketimpangan Ekonomi Oleh Ippho Santosa



Kemarin, selama dua hari saya bersama ibu saya berada di Ende, NTT. Di sinilah Bung Karno diasingkan Belanda dan merenungi nilai-nilai Pancasila. Di sini pula ada Wologai dan Saga, dua kampung adat yang sudah berusia ratusan tahun. Di sini pula ada Kelimutu, tiga danau yang berubah-ubah warnanya dan tergambar di uang kertas Rp 5.000 yang lama. Alhamdulillah, saya bersama ibu saya sempat mengunjungi ini semua.

Sayangnya, ketimpangan ekonomi antara investor (kebanyakan dari Jakarta) dengan masyarakat setempat di NTT membuat kita prihatin. Dan ketimpangan ini terlihat semakin mencolok kalau Anda berkeliling di Labuan Bajo. Btw, berapa jumlah si kaya di bumi ini? Berapa pula jumlah di miskin saat ini?

Bank Dunia memetakan adanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang mencolok di Indonesia, di mana 1% penduduk menguasai 40% sampai 50% kekayaan nasional. Ini mengerikan.

Keadaan memburuk semenjak kita memasuki era reformasi, karena menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), lembaga yang dipimpin oleh Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok, di tahun 1990-an masih 30% penduduk yang menguasai 70-an persen PDB.

Hati-hati, ketimpangan ekonomi ini akan memicu kemarahan, kebencian, juga kriminalitas dari si miskin terhadap si kaya. Bagai bom waktu saja. Tak heran, kericuhan kecil bisa membolasalju karena bergeraknya dan berkumpulnya kaum yang disebut-sebut marginal ini.

Ingatlah, berpisahnya Bangladesh dari Pakistan pada tahun 70-an, salah satunya dipicu oleh faktor ketimpangan ekonomi. Toh, kita juga pernah mengalaminya, yaitu berupa krisis moneter dan kerusuhan pada tahun 1998.

Lantas, apa solusi praktis dari saya? Pertama, galakkan sedekah, zakat, dan wakaf. Terus, apa lagi? Sebuah pesan klasik dari Nabi Muhammad, menjadi landasan utama bagi saya dalam berpikir, "9 dari 10 bagian kehidupan berada di perniagaan."

Apa artinya? Bahasa gampangnya, 90% uang beredar di kalangan pengusaha. Yang 10% barulah beredar di kalangan yang lain. Dengan kata lain, untuk mapan dan kaya finansial (MKF) akan lebih mudah kalau Anda menjadi pengusaha atau investor.

Yang namanya pengusaha, tidak harus dimulai dengan usaha yang besar-besaran. Boleh usaha yang kecil-kecilan dulu. Bertahap, kemudian barulah diperbesar. Ketika pantas dan tiba waktunya, insya Allah besar beneran. Hal ini saya sampaikan kepada Bang Fajar dan rekannya, dua orang yang menemani saya selama berada di Ende.

Pada akhirnya, daripada mengutuk ketimpangan ekonomi, lebih baik kita berbuat sebisanya dan menjadi bagian dari solusi. Tentu, sembari memberi masukan kepada pemerintah dan pengusaha-pengusaha besar agar lebih peka pada permasalahan ini.

Sekian dari saya, Ippho Santosa.


EmoticonEmoticon