Kemarin, selama dua hari saya bersama ibu saya berada di Ende, NTT. Di sinilah Bung Karno diasingkan Belanda dan merenungi nilai-nilai Pancasila. Di sini pula ada Wologai dan Saga, dua kampung adat yang sudah berusia ratusan tahun. Di sini pula ada Kelimutu, tiga danau yang berubah-ubah warnanya dan tergambar di uang kertas Rp 5.000 yang lama. Alhamdulillah, saya bersama ibu saya sempat mengunjungi ini semua.
Sayangnya,
ketimpangan ekonomi antara investor (kebanyakan dari Jakarta) dengan
masyarakat setempat di NTT membuat kita prihatin. Dan ketimpangan ini
terlihat semakin mencolok kalau Anda berkeliling di Labuan Bajo. Btw,
berapa jumlah si kaya di bumi ini? Berapa pula jumlah di miskin saat
ini?
Bank Dunia memetakan
adanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang mencolok di
Indonesia, di mana 1% penduduk menguasai 40% sampai 50% kekayaan
nasional. Ini mengerikan.
Keadaan
memburuk semenjak kita memasuki era reformasi, karena menurut Pusat
Data Bisnis Indonesia (PDBI), lembaga yang dipimpin oleh Christianto
Wibisono atau Oey Kian Kok, di tahun 1990-an masih 30% penduduk yang
menguasai 70-an persen PDB.
Hati-hati,
ketimpangan ekonomi ini akan memicu kemarahan, kebencian, juga
kriminalitas dari si miskin terhadap si kaya. Bagai bom waktu saja. Tak
heran, kericuhan kecil bisa membolasalju karena bergeraknya dan
berkumpulnya kaum yang disebut-sebut marginal ini.
Ingatlah,
berpisahnya Bangladesh dari Pakistan pada tahun 70-an, salah satunya
dipicu oleh faktor ketimpangan ekonomi. Toh, kita juga pernah
mengalaminya, yaitu berupa krisis moneter dan kerusuhan pada tahun 1998.
Lantas,
apa solusi praktis dari saya? Pertama, galakkan sedekah, zakat, dan
wakaf. Terus, apa lagi? Sebuah pesan klasik dari Nabi Muhammad, menjadi
landasan utama bagi saya dalam berpikir, "9 dari 10 bagian kehidupan
berada di perniagaan."
Apa
artinya? Bahasa gampangnya, 90% uang beredar di kalangan pengusaha.
Yang 10% barulah beredar di kalangan yang lain. Dengan kata lain, untuk
mapan dan kaya finansial (MKF) akan lebih mudah kalau Anda menjadi
pengusaha atau investor.
Yang
namanya pengusaha, tidak harus dimulai dengan usaha yang besar-besaran.
Boleh usaha yang kecil-kecilan dulu. Bertahap, kemudian barulah
diperbesar. Ketika pantas dan tiba waktunya, insya Allah besar beneran.
Hal ini saya sampaikan kepada Bang Fajar dan rekannya, dua orang yang
menemani saya selama berada di Ende.
Pada
akhirnya, daripada mengutuk ketimpangan ekonomi, lebih baik kita
berbuat sebisanya dan menjadi bagian dari solusi. Tentu, sembari memberi
masukan kepada pemerintah dan pengusaha-pengusaha besar agar lebih peka
pada permasalahan ini.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
EmoticonEmoticon